MBG: Bergizi untuk Siapa, Gratis tapi Berisiko?

3 hours ago 2

Image Farah Rifa

Politik | 2025-10-07 10:28:42

A menu on the first day of the free nutritious meal program (MBG) at the Kedungbadak 1 Bogor Elementary School, West Java, on Monday (January 6, 2025). (ANTARA/M Fikri Setiawan/rst)

Sejak diluncurkan pada Januari 2025, program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai banyak persoalan. Kasus makanan basi, lauk berbelatung, hingga keluhan rasa aneh dan berlendir di sejumlah sekolah membuat publik meragukan kualitasnya. Tidak sedikit siswa bahkan membuang makanan karena dianggap tak layak konsumsi.

ebih serius lagi, ribuan siswa di berbagai daerah menjadi korban keracunan massal. Data per Juni 2025 mencatat sedikitnya 1.376 anak sekolah dilarikan ke rumah sakit setelah mengonsumsi menu MBG. Investigasi dinas kesehatan dan BPOM menemukan kontaminasi bakteri berbahaya seperti Salmonella, E.coli, Bacillus cereus, hingga jamur Candida tropicalis. Proses memasak massal tanpa kontrol higienitas yang ketat memperbesar peluang kontaminasi.

Akibat serentetan kasus ini, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi sempat menghentikan operasional beberapa dapur. Namun pemerintah tetap bergeming. Kepala BGN hanya menegaskan negara akan menanggung biaya pengobatan dan memberi kompensasi kepada korban, meski tidak sepenuhnya. Bagi orang tua, kompensasi jelas bukan jawaban. Trauma anak-anak dan hilangnya kepercayaan pada makanan sekolah jadi luka yang sulit dipulihkan.

Persoalan yang tak kunjung selesai

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) semakin disorot publik karena rentetan persoalan yang tak kunjung selesai. Kasus keracunan massal, makanan basi hingga hanya berupa kudapan ultraprocessed food menunjukkan lemahnya kontrol kualitas. Ironisnya, program yang diklaim sebagai strategi mencapai Trisula Pembangunan Nasional 2029 justru menimbulkan trauma di kalangan siswa dan orang tua. Alih-alih menjadi solusi stunting, MBG berubah menjadi sumber masalah baru.

Temuan Ombudsman Republik Indonesia mempertegas rapor merah program ini. Ombudsman menilai MBG dijalankan tanpa payung hukum yang jelas dan sarat maladministrasi, mulai dari penyimpangan pengadaan bahan baku, lemahnya SOP dapur, hingga dugaan diskriminasi dalam persaingan usaha. Kasus pemalsuan kualitas beras di dapur MBG Bogor, penyajian sayuran tidak segar, serta porsi makanan yang jauh dari standar, memperlihatkan adanya permainan dalam rantai pasok. Tidak heran, Badan Gizi Nasional terpaksa menghentikan sementara 56 dapur MBG yang bermasalah.

Hingga September 2025, pemerintah mencatat lebih dari 5.900 penerima manfaat keracunan MBG, sementara Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menemukan angkanya lebih tinggi, mencapai 8.000 kasus. Fakta ini menunjukkan lemahnya pengawasan negara terhadap program prioritas Presiden Prabowo Subianto. Tanpa regulasi kuat dan mekanisme transparan, MBG tampak lebih sebagai program populis ketimbang solusi gizi berkelanjutan

Rakyat Jadi Korban, Bisnis yang Untung

Program MBG dipromosikan sebagai kebijakan “pro-rakyat”, seakan menjadi solusi stunting. Namun kenyataannya, pelaksanaan justru menunjukkan wajah pragmatis penguasa. Kasus makanan basi, keracunan massal, hingga menu ultraprocessed food membuat rakyat resah. Janji “demi rakyat” ternyata hanya jadi slogan politik, bukan bukti kepedulian negara.

Dalam politik, pendekatan semacam ini kerap mengandalkan retorika emosional dan janji yang terdengar manis di telinga massa. Program MBG dipublikasikan besar-besaran, tetapi aspek mendasar seperti kualitas, keamanan pangan, dan sistem pengawasan tidak mendapatkan perhatian serius. Yang dikejar hanyalah citra keberhasilan kampanye, meski pelaksanaannya jauh dari standar kesejahteraan rakyat.

Kebijakan ini pun membuka ruang bagi kepentingan bisnis. Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) berperan layaknya dapur umum, tetapi sekaligus menjadi proyek menggiurkan bagi vendor penyedia makanan. Dengan pola “biaya rendah, untung tinggi”, standar gizi dan kebersihan kerap dikorbankan demi meraup laba. Dalam situasi ini, negara seakan melepas tanggung jawabnya kepada swasta, bukannya hadir sebagai pengurus sejati rakyat.

Dalam logika kapitalisme, rakyat diposisikan sebagai konsumen sekaligus objek proyek. Kebijakan yang diklaim untuk rakyat, seperti MBG, pada akhirnya dijalankan dengan pola “biaya rendah, untung tinggi”. Kualitas dan keamanan dikorbankan demi keuntungan. Tidak ada spirit ruhiyah yang membimbing, karena sistem ini menafikan halal-haram. Yang tersisa hanyalah kompetisi profit yang melahirkan kerusakan.

Islam Menjamin Pelayanan Hakiki bagi Rakyat

Dalam sistem Islam, pemimpin diberi mandat langsung oleh Allah Taala untuk mengurus rakyat dengan penuh amanah. Ia wajib memegang aturan syariat, menjauhi tipu daya, dan tidak terjebak pada gaya kepemimpinan yang hanya mencari popularitas. Kekuasaan dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai hukum Allah.

Kepemimpinan dalam Islam adalah raa’in (pelayan) sekaligus junnah (pelindung). Maka, setiap program untuk rakyat dipersiapkan dengan matang dan diawasi ketat, melibatkan tenaga ahli sesuai kebutuhan. Misalnya, program makanan bergizi harus didukung pakar gizi dan tenaga kuliner profesional, bukan sekadar dijadikan proyek bisnis. Tujuannya jelas: melahirkan generasi kuat, sehat, dan cerdas sebagai fondasi peradaban Islam.

Islam juga menjamin enam kebutuhan dasar rakyat: sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Sandang, pangan, papan disediakan dengan harga terjangkau dan distribusi merata. Layanan kesehatan, pendidikan, hingga keamanan diberikan gratis, tanpa pungutan. Sistem ekonomi dan baitulmal menjamin sumber dana, baik dari kepemilikan umum (seperti minyak, gas, listrik) maupun zakat dan kharaj. Dengan mekanisme ini, kesejahteraan rakyat benar-benar terjamin.

Sejarah membuktikan. Umar bin Khaththab memanggul sendiri gandum untuk rakyat miskin. Umar bin Abdul Aziz mendirikan dapur umum. Kekhalifahan Utsmaniyah mengelola imaret wakaf yang selama berabad-abad membagikan makanan bergizi gratis. Semua ini menunjukkan, dalam Islam memberi makan rakyat adalah kewajiban negara, bukan proyek politik.

Bandingkan dengan kondisi hari ini: kegagalan program gizi justru menjadi cermin sistem demokrasi-kapitalisme. Pemimpin lebih sibuk melayani kepentingan kapitalis, rakyat dijadikan objek, sementara pajak terus mencekik. Kekuasaan dijadikan bancakan segelintir elit, bukan amanah. Tidak ada ruhiyah yang mewarnai kepemimpinan, sebab sistem ini menafikan halal-haram. Maka wajar jika kebijakan berakhir pragmatis, penuh manipulasi, dan jauh dari kesejahteraan.

Jelas, habitat asli umat Islam bukanlah sistem demokrasi-kapitalisme yang rusak ini, melainkan Khilafah Islam. Di sana, pemimpin sadar kepemimpinan adalah amanah yang kelak dipertanggungjawabkan di akhirat. Ia akan memastikan tidak ada rakyat yang kelaparan atau kekurangan gizi, sebab kelalaian itu adalah dosa besar di sisi Allah.

Dengan kepemimpinan Islam, rakyat benar-benar terjamin haknya, kehidupan menjadi sejahtera, adil, dan penuh berkah. Sebagaimana janji Allah dalam QS. Al-A’raf: 96:

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |