MTI Dorong Pemerintah Buat Aplikasi Transportasi Online Sendiri

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mendorong pemerintah membuat aplikasi transportasi online milik negara. Djoko menyebut aplikasi transportasi online milik negara dapat mengubah paradigma layanan tak hanya berorientasi keuntungan semata.

"Prioritasnya adalah kesejahteraan pengemudi dan kemudahan bagi masyarakat, sehingga tujuan sosialnya lebih tercapai," ujar Djoko dalam keterangan tertulis di Jakarta, Ahad (14/9/2025).

Apabila negara mengakui pengemudi ojek online (ojol) sebagai lapangan pekerjaan baru, lanjut Djoko, idealnya negara membuat aplikasi sendiri untuk menyejahterakan warganya. Dengan begitu, potongan biaya yang dikenakan kepada pengemudi dapat diatur tidak lebih dari 10 persen.

Menurut Djoko, hal ini berbeda dengan kondisi saat ini, meskipun dianggap sebagai lapangan pekerjaan yang mana pengemudi merasa terbebani dengan potongan biaya yang mencapai lebih dari 20 persen. Selanjutnya, aplikasi tersebut dapat diserahkan ke pemda untuk digunakan sesuai kebutuhan daerah masing-masing.

"Fokus pemerintah selama ini pada aplikator, bukan pada pengemudi, bisa jadi disebabkan beberapa faktor. Salah satunya dugaan sejumlah pejabat yang berurusan dengan aplikasi online sudah menerima fasilitas dari aplikator," ucap Djoko.

Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata itu menilai ada kemungkinan kemudahan yang diberikan perusahaan aplikasi membuat pemerintah tidak lagi melihat perlunya menciptakan sistem transportasi online milik negara, dan kebijakan yang ada lebih menguntungkan perusahaan aplikasi itu sendiri daripada pengemudi. Djoko pun membandingkan layanan transportasi online Indonesia dengan Malaysia yang maba pemerintah mengakuinya sebagai pekerja dan ada standar gaji yang pemerintah menjaganya dan mengatur, seperti UMR kalau di Indonesia.

"Artinya Malaysia fokus pada pengemudinya, makanya pengemudi di Malaysia jarang demo," lanjut Djoko.

Sementara di Indonesia, sambung Djoko, fokus justru pada aplikator yahg berlagak sombong dengan menari di sela-sela kekosongan regulasi yang ada. Djoko menyebut pemerintah tidak bisa melindungi pengemudi secara langsung.

"Akibatnya semua tuntutan pengemudi yang dimintakan ke pemerintah tadak pernah dipenuhi, karena semua tergantung willingness aplikator. Sudah saatnya pemerintah melihat pengemudi ojek online sebagai pekerjaan bukan informal, dilindungi, dan berlisensi," ucap Djoko.

Djoko membeberkan keuntungan apabila pemerintah memiliki aplikasi transportasi online sendiri. Pertama, pemerintah akan memiliki data pasti mengenai jumlah pengemudi transportasi daring.

"Selama ini, data ini tidak diketahui secara jelas, sehingga sulit untuk menentukan kewajiban membayar pajak dan mengatur kesejahteraan mereka secara efektif," ucap Djoko.

Kedua, lanjut Djoko, pemerintah dapat memantau dan mengawasi kebutuhan mobilitas masyarakat secara langsung. Dengan data ini, pemerintah bisa merancang kebijakan yang lebih tepat dan memastikan ada keseimbangan antara ketersediaan dan kebutuhan.

"Hal ini penting agar bisnis ini bisa memberikan keuntungan bagi semua pihak," sambung dia.

Ketiga, pemerintah dapat menerapkan persyaratan yang lebih ketat untuk menjadi pengemudi. Berbeda dengan kondisi saat ini, pengemudi mudah diterima namun sulit mendapatkan penghasilan, pemerintah dapat memastikan jumlah pengemudi sesuai dengan permintaan pasar.

Keempat, sambung Djoko, pemerintah dapat secara rutin melakukan pembinaan kepada pengemudi, tata cara memuat barang, etika membawa penumpang, dan memberikan pengetahuan tentang tertib berlalu lintas yang berkeselamatan di jalan raya. Terakhir, jika aplikasi ini dimiliki oleh negara, keuntungan bukanlah target utama.

"Prioritasnya adalah kesejahteraan pengemudi dan kemudahan bagi masyarakat, sehingga tujuan sosialnya lebih tercapai," kata Djoko.

Read Entire Article
Food |