Presiden Donald Trumpmenjabat tangan Presiden Rusia Vladimir Putin saat konferensi pers di Pangkalan Bersama Elmendorf-Richardson, Alaska, Jumat, 15 Agustus 2025.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menyerukan negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk berhenti membeli minyak Rusia. Trump mengatakan, Washington siap menjatuhkan sanksi berat kepada Moskow jika para anggota NATO mengikuti seruannya.
"Saya siap untuk menjatuhkan sanksi berat terhadap Rusia ketika semua negara NATO telah setuju, dan mulai, untuk melakukan hal yang sama, dan ketika semua negara NATO berhenti membeli minyak dari Rusia," kata Trump lewat akun Truth Social miliknya, Sabtu (13/9/2025), dikutip Anadolu Agency.
Menurut Trump, komitmen NATO untuk menghadapi Rusia jauh di bawah 100 persen. Dia pun mengaku terkejut "beberapa pihak" masih terus membeli atau mengimpor minyak dari Rusia.
Selain menyerukan agar berhenti membeli minyak Rusia, Trump meminta negara anggota NATO memberlakukan tarif antara 50 hingga 100 persen kepada China. Trump mengeklaim, Beijing memiliki cengkeraman yang kuat atas Moskow. "Tarif yang kuat ini akan mematahkan cengkeraman itu," katanya.
"Ini bukan perang Trump (ini tidak akan pernah dimulai jika saya Presiden!). Ini perang (Joe) Biden dan (Presiden Ukraina Volodymyr) Zelensky. Saya di sini hanya untuk membantu menghentikannya, dan menyelamatkan ribuan nyawa warga Rusia dan Ukraina," tambah Trump.
Sebelumnya Trump mengancam akan menjatuhkan sanksi sekunder terhadap negara-negara pembeli minyak Rusia jika tidak ada kemajuan untuk mengakhiri perang di Ukraina yang telah berlangsung sejak 2022. Ia telah mengenakan tarif tambahan sebesar 25 persen untuk barang-barang India, dengan alasan impor minyak Rusia yang terus berlanjut.
Negara-negara G7 dan Uni Eropa memutuskan hubungan dagang dan memberlakukan batas harga minyak Rusia. Sebagai tanggapan, Rusia meningkatkan penjualan minyak ke negara-negara seperti China dan India.
Uni Eropa telah berjanji menghentikan semua impor bahan bakar fosil Rusia pada 2028. (Kamran Dikarma)