Dari Bambu ke Digital, Saat Emak-Emak Tani Ngobrolin Urban Farming dan Jualan Online

1 day ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Di bawah langit Pakansari yang hangat, tepatnya di halaman gazebo bambu RW 11, sebuah kegiatan yang tak biasa tengah berlangsung. Bukan arisan, bukan pengajian, apalagi demo masak.

Hari itu, Sabtu 28 Juni 2025, kurang lebih 32 orang berkumpul bukan untuk nyuapin anak atau ngegosipin harga cabe, tapi buat belajar urban farming dan digital marketing.

Ya, Anda tidak salah baca. Yang berkumpul ini adalah ibu-ibu dari Kelompok Wanita Tani (KWT) Seruni, ditemani dosen dan mahasiswa dari Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) yang sedang menjalankan Pengabdian Kepada Masyarakat, sebuah program hibah dari Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian kepada Masyarakat, Kemendikbudristek.

Temanya terdengar futuristik sekaligus membumi, “Pemberdayaan KWT Seruni melalui Implementasi Urban Farming dan Digitalisasi Pemasaran Produk untuk Kemandirian Pangan.”

Kalau diringkas pakai bahasa warung, ini tuh semacam pelatihan untuk ngajarin emak-emak cara nanem kangkung di pot bekas cat, lalu jualannya bukan cuma ke tetangga, tapi juga lewat Instagram dan marketplace. Dari kompos ke konten, dari pupuk ke platform. Begitulah.

Dipandu Kusmayanti Solecha dosen sekaligus ketua pelaksana yang sabarnya sudah teruji sejak zaman mahasiswa masih nanya “Bu, login e-learning-nya pakai apa?”, para ibu diajak memahami kenapa lahan sempit bukan halangan buat panen, dan kenapa jempol mereka bisa lebih berdaya kalau tahu caranya jualan online.

Yang bikin adem hati, kegiatan ini bukan cuma ngomongin teori dan lalu ditinggal begitu saja. Ada pemetaan program berkelanjutan, ada rencana praktik urban farming, dan bahkan ada pelatihan pembuatan konten digital buat pemasaran. Intinya, para ibu ini nggak akan dilepas gitu aja setelah difoto bareng. Mereka akan didampingi sampai benar-benar bisa.

Dan hari itu bukan cuma soal belajar. Ada juga momen haru, yaitu perpisahan dengan Desri Mulyati Widaningsih selaku Penyuluh Pertanian Lapangan yang sudah mendampingi KWT Seruni, dan peralihan tanggung jawab ke Nisa Ulkhurriyyah. Ada pelukan, ada tawa getir, ada harapan yang tetap dijaga. Karena pemberdayaan itu bukan cuma soal metode, tapi juga soal rasa.

Ernawati, salah satu anggota KWT Seruni, menyuarakan harapan banyak peserta, “Kegiatan ini sangat membantu kami. Dengan adanya pelatihan dan penerapan teknologi, kami berharap KWT Seruni bisa lebih maju dan mandiri ke depannya,” dalam keterangan tertulis Selasa (29/7/2025).

Dan harapan itu bukan omong kosong. Dengan dukungan dari dosen-dosen UBSI seperti Dwi Cahya Putri Buani, Furi Indriyanti, dan Meutia Raissa Emiliana, serta mahasiswa yang jadi asisten tutor, kegiatan ini bisa jadi awal dari lompatan besar. Siapa tahu, dari halaman bambu ini, lahir akun Instagram @sayurseruni.id yang followers-nya ribuan dan pesanan datang dari mana-mana.

Karena dalam dunia yang makin digital ini, emak-emak tani pun berhak tampil keren, bukan hanya dengan tangan kotor bekas tanah, tapi juga dengan ide-ide cemerlang yang mengalir lewat sinyal Wi-Fi. Mereka tak cuma menanam sayuran, tapi juga menanam harapan. Mereka tak cuma jual hasil bumi, tapi juga jual cerita.

Dan kita, sebagai generasi yang seringkali lebih sibuk scrolling daripada nanam, mungkin bisa belajar satu-dua hal dari para ibu ini, bahwa perubahan itu bisa dimulai dari halaman rumah, dari pot bekas, dari tekad sederhana untuk tetap tumbuh meski lahan sempit.

Karena ternyata, pertanian dan teknologi itu bukan dua dunia yang berseberangan. Di tangan emak-emak Pakansari, keduanya bisa kawin mawin, menghasilkan sayur sehat dan strategi jualan canggih dalam satu tarikan napas. Dan dari gazebo bambu itu, perubahan diam-diam sedang ditanam.

Read Entire Article
Food |