Dua Tahun Topan al-Aqsa, Mitos Israel Berguguran

4 hours ago 2

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Penyerangan besar-besaran dari Jalur Gaza pada 7 Oktober dua tahun lalu, disusul genosida yang dilakukan Israel, meruntuhkan sejumlah narasi Israel. Negara itu kini dikucilkan, serta kedigdayaan militernya diragukan.

“Kekalahan yang diderita Israel pada 7 Oktober adalah yang paling parah, menyakitkan, dan memalukan dalam sejarahnya. Bahkan dalam mimpi terburuk kami, kami tidak pernah membayangkan hal seperti ini bisa terjadi pada kami,” kata jurnalis Ben Caspit di media Israel Maariv, menggambarkan apa yang terjadi pada Israel dua tahun lalu.

Pengakuan Ben Caspit, yang dianut oleh banyak orang Israel, tidak muncul begitu saja. Topan al-Aqsa mengungkap kegagalan, khayalan, dan arogansi yang menyebabkan bencana 7 Oktober, menurut mantan Kepala Staf Aviv Kochavi.

Menurut Kochavi, "ketenangan yang relatif di selatan" menipu. Hamas tidak berhenti, melainkan membangun kekuatannya dan membentengi dirinya, menjadi ancaman yang tidak pernah dibayangkan oleh siapa pun.

“Musuh terbesar teknologi adalah keprimitifan. Sebuah granat tangan atau drone dari toko online menghancurkan seluruh sistem,” kata Brigadir Jenderal (res) Shmuel Zakhai, mantan komandan Divisi Gaza, menggambarkan apa yang terjadi hari itu. “Teknologi yang sangat canggih runtuh di hadapan cara-cara yang sederhana dan murah.”

Aksi Brigade Al-Qassam menjebak tank-tank Israel di persimpangan Al-Saftawi, sebelah barat kamp Jabalia, September 2025.

Berlanjutnya perang terpanjang dalam sejarah Israel telah menyebabkan runtuhnya mitos tentara sebagai kekuatan mukjizat, dengan pasukan penjajahan Israel (IDF) menderita kekurangan pejuang dan peralatan, dan klaim mereka sebagai “tentara paling bermoral di dunia” juga telah runtuh.

Menurut statistik terbaru tentara Israel, 1.152 perwira dan tentara telah terbunuh sejak 7 Oktober 2023, lebih dari 40 persen diantaranya berusia di bawah 21 tahun. Dua bulan yang lalu, Departemen Rehabilitasi Kementerian Pertahanan Israel mengakui telah merawat "sekitar 80.000 tentara, 26.000 diantaranya menderita gangguan psikologis." 

Sementara itu, antara 30 dan 40 persen tentara cadangan menolak bertugas karena alasan termasuk kelelahan akibat lamanya perang, menurut media Israel. Kurangnya tentara penjajah menyebabkan tentara terpaksa merekrut perempuan dan Yahudi dari luar negeri untuk mengisi kesenjangan ini.

Menurut situs berita Walla, tentara merekrut 5.000 perempuan untuk peran tempur selama setahun terakhir, dan berupaya merekrut 700 orang Yahudi di luar negeri setiap tahunnya. IDF memperkirakan adanya "kekurangan serius" lebih dari 12.000 tentara.

Read Entire Article
Food |