REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mewacanakan kembali redenominasi rupiah atau mengubah nominal Rp 1.000 menjadi Rp 1. Publik mempertanyakan urgensinya, di samping biaya transisi yang diprediksi besar, juga tidak menyentuh urgensi persoalan ekonomi di Indonesia.
“Dalam konteks ekonomi yang masih rapuh akibat tekanan daya beli, stagnasi investasi, dan pengangguran yang meningkat di beberapa sektor, redenominasi justru terasa seperti mengelupas cat dinding rumah yang retak tanpa memperbaiki fondasinya,” kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam keterangan yang diterima Republika, Senin (10/11/2025).
Achmad menerangkan, masalahnya bukan pada konsep redenominasi itu sendiri. Secara teori, penyederhanaan nominal mata uang bisa memudahkan transaksi, mempercantik citra rupiah di mata internasional, dan meningkatkan efisiensi administrasi keuangan.
Namun, persoalannya adalah timing dan motivasi di baliknya, apakah itu kebutuhan objektif perekonomian, atau sekadar langkah kosmetik untuk meninggalkan legasi politik ekonomi yang tampak elegan di atas kertas.
“Redenominasi seolah ingin memberi kesan ‘ekonomi kita sudah siap’. Padahal, kesiapan sejati bukan diukur dari panjang pendeknya angka di mata uang, melainkan dari ketahanan ekonomi masyarakat dan efektivitas kebijakan publik,” ujarnya.
Di tengah tantangan nyata, seperti pengangguran muda yang mencapai lebih dari 8 persen, daya beli masyarakat kelas menengah bawah yang belum pulih penuh, serta tekanan fiskal yang meningkat akibat subsidi energi dan bansos, redenominasi dinila Achmad bukan solusi.
“Purbaya tampaknya ingin menciptakan simbol kemajuan bahwa Indonesia kini setara dengan negara-negara yang memiliki mata uang berdenominasi kecil seperti Jepang atau Korea Selatan. Namun, simbol tanpa substansi hanya akan menambah kebingungan publik,” kata dia.
Achmad menyebut, dalam psikologi kebijakan publik, kebijakan seperti itu sering disebut sebagai symbolic policy. Yakni kebijakan yang lebih berorientasi pada citra daripada dampak nyata.
“Kebijakan seperti ini bisa jadi populer sesaat, tetapi tidak menjawab penderitaan masyarakat yang masih bergulat dengan harga bahan pokok yang naik, lapangan kerja yang sempit, dan pelayanan publik yang belum merata,” jelasnya.

3 hours ago
2
































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5016061/original/098910800_1732180738-IMG-20241121-WA0027.jpg)






:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)



