Warga berjalan di dekat tabung gas LPG 3 Kg yang kosong di salah satu warung kelontong di Kawasan Tebet, Jakarta, Kamis (6/2/2025).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung menegaskan kembali rencana pemerintah menerapkan kebijakan satu harga untuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kilogram (kg). Kebijakan ini bertujuan menciptakan keadilan distribusi energi di seluruh wilayah Indonesia.
"Jadi, dengan adanya kebijakan LPG satu harga untuk LPG tertentu, justru ini akan menumbuhkan rasa keadilan bagi setiap wilayah," kata Yuliot dalam pernyataannya di Jakarta, Jumat (4/7/2025).
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia juga menyampaikan hal serupa dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR RI, Rabu (2/7/2025). Ia menegaskan, kebijakan ini bertujuan menekan kebocoran distribusi di lapangan serta menyederhanakan mekanisme harga LPG, terutama untuk tabung 3 kg yang disubsidi.
Di banyak daerah, lanjut Yuliot, masih terdapat wilayah yang belum terjangkau distribusi LPG. Bahkan, sebagian masyarakat masih menggunakan minyak tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Oleh karena itu, diperlukan payung hukum yang mengatur pendistribusian dan penetapan harga LPG secara nasional.
Selama ini, penentuan harga LPG 3 kg di tingkat daerah menimbulkan disparitas harga yang signifikan. HET (Harga Eceran Tertinggi) yang seharusnya berkisar Rp16.000 hingga Rp19.000 per tabung, kerap melonjak hingga Rp50.000 di beberapa daerah.
Untuk menjawab persoalan tersebut, pemerintah tengah menyiapkan revisi atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 dan Perpres Nomor 38 Tahun 2019. Revisi ini akan mengatur penyediaan, pendistribusian, dan penetapan harga LPG tertentu secara menyeluruh, dengan fokus pada keadilan energi dan peningkatan jaminan ketersediaan pasokan.
"Regulasi baru ini akan menetapkan satu harga LPG berdasarkan perhitungan biaya logistik dan memastikan subsidi tepat sasaran bagi rumah tangga sasaran, usaha mikro, nelayan, dan petani," ujar Bahlil.
Transformasi tata kelola LPG 3 kg ini juga mencakup perubahan model subsidi menjadi berbasis penerima manfaat. Pelaksanaannya akan mempertimbangkan kesiapan data, infrastruktur, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat.