Logika Bengkok Parlemen: Gaji Tak Cukup, Korupsi Jadi Pintas

1 day ago 3

Image Luse Lopiani

Politik | 2025-08-31 14:06:16

Mulyadi, S.H., M.H.

JAKARTA – Pernyataan seorang anggota DPR yang menganggap pendapatan bulanan lebih dari Rp100 juta sebagai angka yang "kecil" telah menelanjangi sebuah paradoks tajam yang melukai nalar publik. Di tengah skeptisisme rakyat yang kian akut, kontroversi ini memicu pertanyaan mendasar: Jika gaji itu kecil, mengapa kursi parlemen diperebutkan dengan modal miliaran rupiah? Dan mengapa tidak ada yang memilih mundur dari jabatan yang dianggap tidak memuaskan itu?

Polemik ini, yang oleh para pakar disebut sebagai cermin "minim empati", membuka kotak pandora tentang realitas politik Indonesia. Jawaban atas paradoks tersebut, menurut para analis, terletak pada pergeseran makna jabatan publik—dari pengabdian menjadi "investasi politik".

“Persoalan utama bukanlah besaran gaji para wakil rakyat, melainkan sistem yang membiarkan ruang korupsi dan konflik kepentingan berkembang subur. Moralitas dan empati tidak cukup untuk mengekang hal ini tanpa adanya perubahan struktural dan regulasi yang ketat. Solusi seperti transparansi penuh, audit menyeluruh, sistem gaji tunggal yang adil, serta pengesahan UU Perampasan Aset sangat krusial untuk menghadirkan akuntabilitas sejati” Ujar Mulyadi.

Kursi Parlemen sebagai Aset Investasi

Riset dan laporan investigasi secara konsisten menunjukkan bahwa biaya untuk menjadi seorang anggota legislatif bisa mencapai miliaran rupiah. Angka ini jelas tidak sebanding dengan total pendapatan resmi yang diterima selama lima tahun masa jabatan, sekalipun mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan.

Ketidaksesuaian inilah yang melahirkan logika bahwa kursi DPR bukanlah tujuan akhir, melainkan alat untuk mendapatkan "imbal hasil" yang jauh lebih besar. "Besarnya gaji bulanan belum tentu bisa mengembalikan modal, sehingga korupsi menjadi jalan pintas," tulis sebuah analisis mengenai politik transaksional.

Dalam kerangka ini, seruan publik agar anggota dewan mundur menjadi tidak relevan. Mengundurkan diri sama artinya dengan meninggalkan investasi miliaran rupiah dan menutup akses terhadap potensi keuntungan non-resmi, seperti pengaruh alokasi anggaran dan "fee" proyek. Jabatan tersebut telah menjadi aset yang harus dipertahankan, bukan amanah yang bisa dilepaskan atas dasar tuntutan moral.

“Rakyat berhak menuntut wakilnya bekerja sebagai pengabdi, bukan investor yang menghitung untung rugi di kursi legislatif. Jika tidak ada reformasi sistemik, kursi DPR hanya akan menjadi lahan politik transaksional, di mana kepentingan rakyat masih akan terus terpinggirkan. Oleh karena itu, upaya perubahan haruslah berani dan menyentuh akar masalah, bukan sekadar klarifikasi atau pembelaan setengah hati. Ini bukan soal angka, melainkan soal keadilan dan kejujuran dalam demokrasi kita” Ujar Mulyadi.

Solusi Sistemik, Bukan Sekadar Kecaman

Untuk memutus lingkaran setan ini, para pakar dan aktivis anti-korupsi menegaskan bahwa imbauan moral tidak akan cukup. Diperlukan perombakan sistemik yang mengubah kalkulasi untung-rugi para aktor politik. Tiga solusi tajam diusulkan:

Transparansi Radikal dan Audit Total: Menjawab desakan dari Indonesian Corruption Watch (ICW), DPR harus diwajibkan membuka seluruh dokumen regulasi pendapatan mereka. Lebih jauh, perlu adanya audit forensik wajib oleh lembaga independen terhadap dana kampanye dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) semua pejabat terpilih. Setiap ketidakwajaran harus menjadi pemicu investigasi hukum.

Rasionalisasi Gaji dan Tunjangan: Sistem kompensasi yang rumit dengan belasan komponen tunjangan harus disederhanakan. Usulan menuju Sistem Gaji Tunggal (Single Salary System) kembali menguat. Dalam sistem ini, semua pendapatan digabung menjadi satu komponen gaji yang transparan dan besarnya ditentukan berdasarkan analisis beban kerja yang jelas, bukan berdasarkan lobi politik.

Senjata Pamungkas: UU Perampasan Aset: Solusi paling fundamental adalah pengesahan Undang-Undang Perampasan Aset dengan klausul pembuktian terbalik bagi pejabat publik. Jika seorang pejabat memiliki kekayaan yang tidak dapat dijelaskan oleh profil pendapatan resminya, maka beban pembuktian ada pada dirinya. Jika gagal, negara berhak merampas aset tersebut. Instrumen ini diyakini akan membuat risiko korupsi menjadi jauh lebih besar daripada potensi keuntungannya, sehingga mematikan logika "investasi politik" dari akarnya.

Pada akhirnya, kemarahan publik atas polemik gaji ini adalah sinyal kuat bahwa rakyat menuntut perubahan yang lebih dari sekadar klarifikasi. Tanpa reformasi sistemik yang berani, kursi parlemen akan terus menjadi arena para investor politik, dan suara rakyat akan selamanya terpinggirkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |