Mengapa Konflik Sosial Terjadi? Tinjauan Pemikiran Ibnu Khaldun

1 day ago 3

Image Rudi Ahmad Suryadi

Agama | 2025-08-31 10:49:18

Konflik sosial merupakan fenomena yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat. Sejak dahulu kala hingga zaman modern, sejarah manusia tidak pernah sepi dari konflik, baik dalam bentuk pertikaian antarkelompok, perang antarnegara, maupun gesekan kecil di lingkup sosial sehari-hari. Konflik sering dipandang sebagai sesuatu yang merugikan, karena di dalamnya terkandung pertentangan, kebencian, bahkan kekerasan yang dapat merusak tatanan sosial. Namun, di sisi lain, konflik juga memiliki fungsi sebagai pemicu perubahan sosial. Dari konflik, masyarakat sering menemukan cara baru untuk membangun aturan, memperkuat solidaritas, dan menciptakan keseimbangan yang lebih adil. Dalam hal ini, pemahaman mengapa konflik sosial terjadi menjadi hal yang penting agar masyarakat tidak hanya bisa mengantisipasi dampaknya, tetapi juga mampu mengelolanya secara konstruktif.

Secara definisi, konflik sosial dapat dimengerti sebagai bentuk interaksi sosial yang ditandai dengan adanya pertentangan nilai, tujuan, atau kepentingan antara individu dan kelompok. Konflik muncul ketika terdapat ketidakseimbangan dalam hubungan sosial yang memunculkan gesekan. Misalnya, ketika dua kelompok memiliki klaim yang sama atas sumber daya tertentu, atau ketika perbedaan pandangan politik berkembang menjadi polarisasi sosial. Dalam konteks ini, konflik bukanlah sesuatu yang asing, tetapi bagian dari dinamika sosial yang memang inheren dalam kehidupan manusia.

Salah satu pemikir besar yang memberikan perhatian serius terhadap persoalan konflik adalah Ibnu Khaldun (1332–1406 M), seorang sejarawan, sosiolog, sekaligus filsuf Muslim yang dikenal luas melalui karya monumentalnya, Muqaddimah. Ibnu Khaldun hidup di tengah kondisi politik yang penuh gejolak di dunia Islam, di mana pergantian dinasti, peperangan, dan intrik politik menjadi pemandangan sehari-hari. Tidak heran jika perhatiannya terhadap masalah konflik sangat besar, sebab ia menyaksikan langsung bagaimana sebuah kekuasaan bisa muncul, bertahan, lalu hancur akibat konflik internal maupun eksternal.

sumber gambar: https://www.dailysabah.com/portrait/2017/03/04/ibn-khaldun-the-14th-century-genius

Menurut kajian Hakimul Ikhwan Afandi dalam bukunya Akar Konflik Sepanjang Zaman (Pustaka Pelajar, 2004), pemikiran Ibnu Khaldun tentang konflik dapat dipetakan ke dalam tiga aspek utama: watak psikologis, fenomena politik, dan fenomena ekonomi. Ketiga aspek ini saling berkaitan dalam menjelaskan akar konflik sosial sepanjang sejarah.

Pertama, dari sisi watak psikologis, Ibnu Khaldun menekankan bahwa manusia memiliki dorongan dasar untuk berkompetisi, menunjukkan kekuasaan, serta mempertahankan kelompoknya. Watak ini terwujud dalam semangat solidaritas kelompok. Pada tahap awal, solidaritas ini berfungsi positif karena memperkuat rasa kebersamaan dan melahirkan kekuatan kolektif. Namun, ketika hal ini berkembang secara eksklusif dan berlebihan, ia dapat berubah menjadi sumber konflik, sebab solidaritas tersebut diarahkan untuk melawan atau menyingkirkan kelompok lain. Dengan kata lain, dorongan psikologis manusia untuk mempertahankan identitas dan kelompoknya sering kali menjadi pemicu benturan sosial.

Kedua, dari perspektif fenomena politik, konflik sering muncul akibat perebutan kekuasaan. Bagi Ibnu Khaldun, kekuasaan merupakan faktor penting dalam dinamika sejarah. Setiap kelompok atau dinasti berusaha untuk menguasai, mempertahankan, dan memperluas wilayah kekuasaannya. Namun, kekuasaan yang tidak diimbangi dengan keadilan cenderung melahirkan penindasan, sehingga memunculkan perlawanan dari pihak yang tertindas. Inilah yang menjelaskan mengapa sejarah sering kali dipenuhi oleh pergantian dinasti, kudeta, atau perang saudara. Perebutan kekuasaan tidak hanya terjadi pada level negara, tetapi juga dalam organisasi, komunitas, bahkan keluarga. Konflik politik, pada hakikatnya, adalah manifestasi dari pertarungan kepentingan untuk mendominasi atau mempertahankan kedudukan.

Ketiga, dari sudut fenomena ekonomi, Ibnu Khaldun menyoroti pentingnya keadilan dalam distribusi kekayaan. Menurutnya, ketika kekayaan hanya beredar di kalangan elite atau terjadi eksploitasi terhadap kelompok tertentu, maka konflik ekonomi tidak bisa dihindari. Kesenjangan sosial-ekonomi menimbulkan kecemburuan, yang kemudian berkembang menjadi resistensi atau pemberontakan. Dalam perspektif ini, Ibnu Khaldun seakan menegaskan bahwa kemakmuran yang tidak merata akan selalu menjadi bom waktu yang memicu konflik sosial. Bahkan, menurutnya, banyak peradaban runtuh bukan semata karena serangan dari luar, melainkan karena ketidakadilan ekonomi yang menggerogoti internal masyarakat itu sendiri.

Analisis Ibnu Khaldun tentang konflik memiliki relevansi yang sangat kuat dengan kondisi kontemporer. Dalam dunia modern, konflik masih dipicu oleh faktor yang sama: psikologis, politik, dan ekonomi. Misalnya, konflik identitas berbasis agama, etnis, atau ideologi merupakan bentuk lain dari solidaritas yang berlebihan. Konflik politik juga masih marak terjadi, baik dalam bentuk perebutan kekuasaan di tingkat negara maupun dalam arena politik lokal. Demikian pula, kesenjangan ekonomi global dan nasional terus melahirkan ketegangan sosial, sebagaimana terlihat dari protes buruh, gerakan anti-ketidakadilan, hingga konflik perebutan sumber daya alam.

Menariknya, Ibnu Khaldun juga menekankan bahwa konflik tidak selalu harus dimaknai sebagai kehancuran. Dalam banyak kasus, konflik justru melahirkan siklus sejarah baru. Misalnya, kelompok yang semula tertindas bisa bangkit melawan, lalu membentuk kekuasaan baru yang lebih kuat. Siklus naik-turun kekuasaan inilah yang oleh Ibnu Khaldun dianggap sebagai hukum sosial yang berlaku universal. Dalam kata lain, konflik merupakan bagian dari dinamika peradaban yang tidak bisa dihindari, melainkan hanya bisa dikelola.

Pelajaran penting yang bisa kita tarik dari pemikiran Ibnu Khaldun adalah bahwa konflik sosial bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan hasil interaksi kompleks antara watak manusia, struktur politik, dan kondisi ekonomi. Upaya mengatasi konflik tidak bisa dilakukan secara parsial. Mengatasi konflik politik tanpa menyentuh ketidakadilan ekonomi, misalnya, hanya akan menghasilkan solusi sementara. Begitu pula, memperkuat solidaritas tanpa memperhatikan aspek keadilan dapat berubah menjadi konflik baru.

Pemahaman akar konflik sosial sebagaimana yang dirumuskan Ibnu Khaldun memberi kita wawasan bahwa konflik tidak selalu harus dihindari, tetapi perlu dipahami dan dikelola. Dengan pengelolaan yang bijak, misalnya melalui dialog, distribusi sumber daya yang adil, dan sistem politik yang inklusif, konflik dapat diarahkan menjadi energi positif bagi perubahan sosial. Sejarah membuktikan, dari konflik sering lahir transformasi besar yang membawa masyarakat menuju peradaban yang lebih maju. Ini mungkin menjadi relevansi dari pemikiran Ibnu Khaldun tentang konflik, yang meskipun lahir berabad-abad lalu, masih tetap hidup dan memberi makna bagi kita hari ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |