REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan untuk menjalani hidup childfree atau tidak memiliki anak kini semakin banyak dipertimbangkan generasi muda, khususnya Gen Z. Meski persentasenya masih rendah yakni 0,01 persen berdasarkan data BKKN, namun permasalahan ini perlu ditangani secara serius.
Kepala Pusat Kajian Gender dan Anak IPB University, dr Yulina Eva Riany, mengatakan langkah awal yang harus dilakukan pemerintah adalah memahami faktor penyebab childfree. Menurut analisisnya, childfree lebih banyak didorong oleh alasan rasional seperti ketidakstabilan ekonomi hingga minimnya dukungan pemerintah terhadap kesejahteraan keluarga. Setelah itu, pemerintah bisa merumuskan kebijakan yang sesuai.
"Pemerintah perlu mencari terlebih dahulu, apa yang menjadi alasan generasi muda memilih childfree. Petakan apa saja masalahnya, lalu buat rumusan kebijakan yang sesuai," kata dr Yulina saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/7/2025).
Sebagai pakar keluarga, Yulina merekomendasikan sejumlah kebijakan yang bisa diinisiasi oleh pemerintah. Misalnya cuti melahirkan yang cukup, layanan penitipan anak (daycare) yang aman dan terjangkau, sistem kerja fleksibel, hingga akses pendidikan anak yang berkualitas.
"Saya rasa itu sudah cukup untuk sekarang. Tapi jika melihat negara dengan krisis populasi seperti Hungaria dan Rumania, mereka sudah jauh lebih progresif. Mereka memberikan insentif bagi warga yang memiliki anak, bahkan layanan daycare dan kebutuhan bayi digratiskan," kata dia.
Meski Indonesia belum berada di tahap darurat demografi, Yuli menilai bahwa kebijakan antisipatif harus mulai dirancang dari sekarang. la juga menekankan bahwa keberhasilan pendekatan ini tidak hanya bergantung pada kebijakan semata, melainkan juga pada siapa yang menyampaikan pesan tersebut.
"Role model sangat penting. Generasi muda cenderung mencari figur yang senasib, yang bisa menunjukkan bahwa membangun keluarga tetap bisa dilakukan di tengah keterbatasan. Jadi untuk hal ini, jangan pilih role model dari figur selebritas yang jauh dari realitas mereka," kata Yuli.
la juga mendorong kolaborasi antara pemerintah, akademisi, dan media dalam membentuk narasi baru tentang keluarga. "Mengasuh anak memang pekerjaan paling melelahkan, tapi juga paling rewarding. Kita perlu menekankan itu, bukan sekadar mendorong orang punya anak, tapi menunjukkan bahwa mereka tidak sendirian," kata dia.
Yulina mengingatkan, jika tren childfree terus meningkat tanpa penanganan, Indonesia berisiko mengalami penurunan jumlah penduduk usia produktif pada masa mendatang. Kondisi ini dapat memengaruhi ketahanan ekonomi dalam jangka panjang, seiring menyusutnya angkatan kerja.
Beberapa negara maju seperti Jepang telah lebih dulu menghadapi konsekuensi tersebut. "Kalau kita lihat di Jepang, banyak sekolah tutup karena memang muridnya sudah tidak ada. Dan jika di masa mendatang di Indonesia lebih banyak lansia daripada usia produktif, maka ya dapat menambah beban perekonomian negara," kata dia.