Revisi UU Kehutanan Diminta Akui Hak Masyarakat Adat

6 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Revisi Undang-Undang Kehutanan (UUK) yang tengah dibahas DPR RI dinilai sebagai momen krusial untuk mengakhiri warisan kolonial dalam tata kelola hutan Indonesia. UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 dianggap tak lagi relevan menghadapi kompleksitas konflik kehutanan masa kini karena masih berparadigma negara-sentris yang merugikan masyarakat adat dan lingkungan.

Peneliti Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL) Difa Shafira mengkritik draf revisi UUK yang digagas Badan Keahlian DPR RI dan Panja RUUK Komisi IV. Ia menilai revisi tersebut belum menyentuh persoalan substansial, terutama dalam hal pemantauan dan penegakan hukum untuk mencegah deforestasi.

“Deforestasi hutan seharusnya dapat dicegah dengan memperkuat sistem pemantauan dan penegakan hukum. UUK harus menjadi safeguarding atas kekayaan sumber daya alam Indonesia,” ujarnya dalam Forum Dialog Konservasi Indonesia, Ahad (12/7/2025).

Menurut Difa, UUK seharusnya mengatur fungsi hutan pokok dan fungsi hutan cadangan untuk dipulihkan, sejalan dengan komitmen global Indonesia dalam Nationally Determined Contribution (NDC) untuk menekan laju deforestasi.

Dr. Yance Arizona dari Fakultas Hukum UGM menilai dekolonisasi kehutanan membutuhkan perubahan paradigma, yaitu dari negara sebagai aktor tunggal menjadi rakyat sebagai pilar utama. Ia menekankan bahwa rule of law kehutanan seharusnya berlandaskan keadilan sosial dan ekologis, bukan sekadar memperkuat kontrol negara.

Ia juga mengingatkan bahwa UUK bertentangan dengan semangat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang secara tegas mematahkan asas domein verklaring, doktrin kolonial yang menyatakan tanah tanpa sertifikat sebagai milik negara.

“Asas ini adalah cara kolonial merampas tanah rakyat. Bagaimana mungkin tetap digunakan di era kemerdekaan?” kata Kiagus M. Iqbal dari Sajogyo Institute.

Erwin Dwi Kristianto dari HuMa menyoroti konsep Hak Menguasai Negara dalam UUK yang selama ini melegitimasi perampasan ruang hidup masyarakat. Menurutnya, fokus revisi seharusnya pada perlindungan fungsi ekologis hutan, bukan eksploitasi atau penguasaan negara.

Senada, Manajer Kebijakan Lingkungan Yayasan Kehati Mohamad Burhanudin menekankan pentingnya menggeser paradigma hukum menuju keadilan ekologis. Ia menegaskan, “Revisi UUK harus mengakui peran masyarakat adat sebagai penjaga utama ekosistem, yang hidup selaras dengan alam.” Ia juga mengkritik lemahnya pengawasan dan praktik perizinan koruptif yang memperburuk kondisi hutan.

Martua T Sirait dari Samdhana Institute mempertanyakan sejauh mana semangat dekolonisasi dapat dijalankan tanpa keterbukaan informasi, khususnya dalam proses penetapan kawasan hutan dan tata batas yang kerap dilakukan sepihak tanpa legitimasi sosial.

Kritik juga datang dari timur Indonesia. O.Z.S. Tihurua dari KORA Maluku mengungkapkan masyarakat dikejutkan dengan pemasangan tapal batas kawasan hutan di rumah, kebun, dan hutan yang selama ini dikelola secara turun-temurun. Akibatnya, mereka kehilangan tanah sebagai sumber penghidupan.

Bagi masyarakat adat di kawasan timur seperti Maluku dan Papua, UUK dianggap sebagai alat eksploitasi korporasi atas hutan dan sumber daya lokal. Prof. Agustinus Kastanya menekankan perlunya kehati-hatian dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yang memiliki karakter ekologis berbeda dari pulau besar, apalagi di tengah krisis iklim dan ancaman hilangnya keanekaragaman hayati.

Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia menyatakan revisi UUK harus dilakukan secara menyeluruh dan berpijak pada aspek sosiologis, filosofis, dan yuridis.

Ia mendesak DPR dan pemerintah untuk terbuka terhadap kritik terhadap bisnis kawasan hutan yang dinilai minim kontribusi terhadap PDB namun berdampak besar terhadap lingkungan dan masyarakat.

Revisi UUK dianggap sebagai peluang untuk membongkar kekuasaan tertutup, membuka ruang partisipasi masyarakat adat, dan memastikan tata kelola hutan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Momentum ini dinilai penting untuk menjaga keberlanjutan sumber daya alam dan memenuhi komitmen Indonesia dalam pengurangan deforestasi.

Read Entire Article
Food |