REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi yang dilakukan oleh Prudential Indonesia dan Prudential Syariah bekerja sama dengan Economist Impact menunjukkan, sebanyak 9 dari 10 pasien di Indonesia atau 93 persen mengaku menunda perawatan atau mencari layanan kesehatan. Temuan survei berjudul Studi Prudential - Suara Pasien Indonesia: Terhimpit di antara Kebutuhan Perawatan, Biaya, dan Kejelasan Informasi itu juga menyebutkan hampir setengah dari pasien (44 persen) berulang kali menunda pengobatan.
Chief Health Officer Prudential Indonesia, Yosie William Iroth, dalam keterangan di Jakarta, Rabu (17/9/2025), mengatakan meski akses kesehatan di Indonesia telah meningkat signifikan, pasien masih menghadapi tantangan yang menghambat mereka mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.
“Survei ini menegaskan perlunya sistem layanan kesehatan yang dapat meminimalkan gangguan pada kehidupan sehari-hari, memberikan kepastian biaya sejak awal, serta menyediakan informasi yang andal dan mudah dipahami agar pasien merasa percaya diri untuk segera mencari perawatan ketika dibutuhkan,” ujar Yosie.
Ia menambahkan, kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan dengan distribusi dokter yang belum merata juga menjadi tantangan tersendiri. Salah satu dampak paling nyata dari ketidakmerataan ini adalah 77 persen pasien merasa tidak mudah menemui dokter, mulai dari sulitnya membuat janji temu, antrean panjang, hingga hambatan akses lainnya.
“Kendala tersebut bukan hanya menunda perawatan, tetapi juga mengganggu pekerjaan, aktivitas rumah tangga, serta tanggung jawab lainnya,” kata Yosie.
Dalam studi itu disebutkan penundaan perawatan kesehatan terutama dipengaruhi oleh tiga faktor utama. Pertama, kurangnya informasi kesehatan yang jelas.
Lebih dari setengah responden menyatakan tidak memiliki informasi medis yang mereka butuhkan, sehingga ragu atau tidak tahu ke mana harus mencari opini kedua maupun informasi medis. Hampir 44 persen responden mengatakan tidak memperoleh informasi yang mereka perlukan saat bertemu dokter terkait diagnosis.
Kedua, biaya sebagai sumber stres. Satu dari lima responden menyebut ketidakpastian mengenai bagaimana biaya perawatan akan ditanggung sebagai kekhawatiran utama, ditambah biaya tak terduga yang harus dibayar sendiri.
Untuk menutupi biaya medis, 56 persen responden mengandalkan jaring pengaman sosial, termasuk keluarga (17 persen), pinjaman (12 persen), lembaga amal (13 persen), dan crowdfunding (14 persen).
Ketiga, keluarga sebagai prioritas utama. Banyak pasien menempatkan tanggung jawab rumah tangga di atas kesehatan pribadi. Sebanyak 20 persen menunda perawatan demi memenuhi kebutuhan finansial keluarga, sementara 18 persen memprioritaskan pengasuhan anak dibanding perawatan diri.
Bagi banyak masyarakat Indonesia, akses terhadap layanan kesehatan masih menjadi tantangan. Sepertiga responden (34 persen) menyebut ketenangan pikiran saat mencari layanan kesehatan sangat tergantung pada kondisi sehari-hari, sementara 17 persen menilai waktu tunggu yang panjang sebagai hambatan besar.
Sementara itu, 77 persen melaporkan kesulitan membuat janji temu, antrean panjang, atau masalah akses lainnya, gangguan yang tidak hanya menunda perawatan tetapi juga mengganggu pekerjaan, rutinitas rumah tangga, dan tanggung jawab keluarga.
Laporan itu merupakan bagian dari studi yang lebih luas yang diinisiasi Prudential plc bertajuk Suara Pasien: Pengalaman Akses Layanan Kesehatan di Asia, yang dilakukan di empat negara: Hong Kong, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Studi tersebut melibatkan lebih dari 4.200 responden dan meneliti pengalaman pasien dalam mengakses layanan kesehatan.
sumber : ANTARA