Jalur pedestrian di Malioboro.
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta menyebut penataan para pengamen di kawasan Malioboro, Kota Yogyakarta harus selaras dengan nilai-nilai Sumbu Filosofi Yogyakarta. Apalagi penataan pelaku seni di Malioboro bisa menjadi peluang untuk meningkatkan kualitas serta menciptakan kenyaman bersama di ruang publik.
"Sumbu Filosofi ini adalah milik seluruh masyarakat Yogyakarta, seluruh masyarakat Indonesia, dan bahkan milik dunia. Tentu kita membutuhkan tata kelola yang lebih aman dan nyaman untuk semua," ujar Kepala Disbud DIY Dian Lakshmi Pratiwi di Yogyakarta, Ahad (5/10/2025).
Penataan kawasan Malioboro, kata dia, perlu dilakukan sebagai upaya menjaga ruang bersama yang adil bagi semua dan tidak ada pihak yang merasa paling berhak menguasai ruang publik. "Paling tidak kita memiliki peluang untuk meningkatkan kualitasnya. Bisa mengurasi dan ini juga akan menimbulkan satu kenyamanan di antara para pengamen," ujar dia.
Dian mengatakan penataan Malioboro juga menjadi bagian dari edukasi bersama agar setiap pihak memahami posisi dan tanggung jawabnya di ruang publik. Nilai-nilai luhur seperti "tepo seliro" atau tenggang rasa, ujar dia, perlu dijaga agar penataan ruang berjalan seimbang dan manusiawi.
Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo menegaskan komitmen untuk menjadikan pengamen yang tampil di kawasan Malioboro memiliki standar berbeda dengan pengamen di daerah lain. Menurut dia, ikon utama Kota Yogyakarta tersebut harus menghadirkan pengalaman yang lebih berkelas, termasuk dari sisi seni jalanan yang disuguhkan kepada masyarakat maupun wisatawan.
"Kalau sudah mengamen di Malioboro, kualitasnya harus di atas rata-rata. Pengamen Malioboro harus berbeda dari pengamen di tempat lain, baik dari segi kemampuan musik maupun penampilan. Mereka harus terseleksi dan terkurasi, sehingga bisa memberi hiburan sekaligus kesan positif bagi siapa saja yang berkunjung ke Malioboro," ujar dia.
sumber : Antara