REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang di Gaza sejak Oktober 2023 telah menjadi sorotan dunia, namun apa yang terjadi di balik layar? Pasukan militer Israel, yang dikenal sebagai salah satu kekuatan militer terkuat di dunia, ternyata mengalami kegagalan besar dalam menghadapi perlawanan Hamas.
Dari serangan 7 Oktober 2023 yang mengejutkan hingga gencatan senjata yang ditandatangani, Israel menghadapi tantangan besar dalam mencapai tujuannya. Apa yang menyebabkan kegagalan ini? Apakah strategi perang Israel yang salah, atau ada faktor lain yang berperan?
Tak hanya itu, perang berkepanjangan di Gaza telah meninggalkan luka mendalam pada pasukan Israel, dengan ribuan tentara mengalami gangguan jiwa seperti PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder).
Menurut laporan Kementerian Pertahanan Israel, sekitar 26.000 tentara telah dirawat karena gangguan mental, dengan 33% di antaranya menderita PTSD. Bahkan, 43 tentara dilaporkan bunuh diri akibat tekanan psikologis berat.
Situasi ini memicu kekhawatiran akan krisis kesehatan mental yang akut di kalangan pasukan Israel, dengan beberapa pihak menuding pemerintah Israel gagal memberikan dukungan yang memadai
Berikut ini adalah kritikan yang disampaikan oleh para ahli dan aktivis Yahudi, baik di Israel maupun secara global, terhadap militer Israel selama perang di Gaza. Penting untuk diingat bahwa suara-suara ini sangat beragam dan mewakili perspektif yang kritis dari dalam komunitas Yahudi itu sendiri.
Banyak ahli Yahudi, termasuk organisasi seperti Breaking the Silence (sebuah LSM yang terdiri dari veteran tentara Israel), mengkritik keras kebijakan "pengurangan korban" Israel yang mereka anggap timpang.
Mereka menyatakan bahwa militer Israel terlalu longgar dalam menafsirkan aturan pertempuran, sehingga mengorbankan nyawa warga sipil Palestina—wanita, anak-anak, dan orang tua—dalam jumlah yang sangat besar demi membidik sejumlah kecil militan. Bagi mereka, ini adalah kegagalan moral.
1. Bom di Kawasan Pemukiman Padat
Para kritikus ini mengecam penggunaan bom besar-besaran (seperti bom 2,000 pound) di kawasan permukiman yang sangat padat seperti Gaza City atau Jabalia.
Mereka berargumen bahwa taktik "pukul rata" ini, meski diklaim membidik terowongan Hamas, pada dasarnya tidak dapat memisahkan kombatan dari warga sipil.