REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- ChatGPT kini makin populer di kalangan anak-anak dan remaja. Teknologi kecerdasan buatan (Al) ini dapat menjadi teman belajar yang menarik, membantu menjawab pertanyaan, mengerjakan tugas, bahkan memicu rasa ingin tahu.
Namun di balik manfaatnya, Guru besar IPB University bidang kecerdasan buatan Prof Yeni Hendiyani mengingatkan penggunaan ChatGPT pada anak usia dini perlu diwaspadai. Pasalnya, bisa memicu ketergantungan, menurunkan kemampuan berpikir kritis, dan membuka akses terhadap informasi yang belum tentu sesuai usia.
"Teknologi ini memiliki dua sisi. Ada sisi positif dan negatifnya. Dari sisi positif, ChatGPT mempermudah kita mengeksplorasi pengetahuan. Namun, jika digunakan secara instan tapa berpikir, otak anak tidak akan terlatih," kata Prof Yeni dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (7/11/2025).
Menurutnya, ChatGPT memberikan informasi secara cepat dan praktis, tetapi penggunaan yang berlebihan dapat melemahkan kemampuan kognitif anak. Teknologi ini, kata Prof Yeni, sebenarnya lebih aman digunakan oleh orang dewasa yang sudah mampu memverifikasi kebenaran informasi.
"Kalau usia dini, seperti anak SD, sebaiknya penggunaan ChatGPT harus dalam pengawasan. Anak-anak masih butuh pengembangan motorik dan kognitif. Kalau kemampuan itu tergantikan oleh ChatGPT, otak mereka tidak berkembang optimal," kata dia.
Dari sisi teknis, Prof Yeni menjelaskan ChatGPT dikembangkan dengan prinsip menyerupai cara kerja otak manusia, melalui teknologi transformerdan algoritma long short term memory (LSTM). Namun demikian, tetap ada kelemahan seperti bias dan halusinasi data yang bisa menyesatkan pengguna.
"Karena itu, masyarakat harus tahu bahwa tidak semua jawaban ChatGPT benar," kata dia.
Mengenai kebijakan pengenalan Al sejak dini, Prof Yeni menilai pemerintah perlu menekankan pada penguatan computational thinking (cara berpikir komputasional), bukan sekadar kemampuan coding. Computational thinking itu melatih kemampuan otak manusia untuk memecahkan masalah, berpikir logis, dan mengenali pola. Sedangkan coding hanyalah implementasi dari kemampuan itu.
Prof Yeni menyarankan agar guru dan orang tua tidak serta-merta menyerahkan proses belajar anak kepada ChatGPT. "Kalau ada tugas sekolah, sebaiknya tetap ajari anak berpikir dan mencari jawaban sendiri. ChatGPT bisa dipakai untuk membantu, tapi bukan untuk menggantikan proses belajar," kata dia.
la menegaskan pentingnya pendekatan human-centered dalam penggunaan Al. Artinya, manusia harus tetap menjadi pusat dalam proses pengembangan dan pemanfaatan teknologi.
"Teknologi seperti ChatGPT bisa jadi sumber belajar yang luar biasa bila digunakan dengan bijak. Tapi tanpa bimbingan, bisa berubah menjadi jebakan digital," kata dia.
Prof Yeni mengingatkan bahwa bijak menggunakan teknologi berarti turut membentuk generasi yang cerdas, kritis, dan beretika di era digital. "Peran orang tua dan pendidik sangat penting untuk mengarahkan, membimbing, dan mengawasi penggunaan ChatGPT oleh anak-anak. Dengan pendampingan yang tepat, teknologì ini bisa menjadi sahabat belajar yang aman dan bermanfaat," kata dia.

5 hours ago
3





























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5016061/original/098910800_1732180738-IMG-20241121-WA0027.jpg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5279254/original/067751900_1752132134-Kerak_Telor_JFK_2025.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5280345/original/085190400_1752221910-pexels-towfiqu-barbhuiya-3440682-26707585.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5280821/original/002199600_1752287018-0E6A2474-01.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5005646/original/001862500_1731587965-Screenshot_2024-11-07_201311.jpg)

