Beras Naik, Dapur Rakyat Menjerit

3 hours ago 4

Image Farah Rifa

Info Terkini | 2025-09-13 09:10:58

Beras adalah makanan pokok utama masyarakat Indonesia. Selama setahun terakhir, harga beras terus mengalami kenaikan. Hingga kini, harga tersebut tak kunjung mereda, malah semakin melambung tinggi. Data pemerintah mencatat, kenaikan harga terjadi di 214 daerah dan belum menunjukkan tanda-tanda penurunan, dilansir CNN Indonesia (2/9/2025).

Ironisnya, kondisi ini terjadi saat pemerintah menyatakan stok beras nasional surplus. Kementerian Pertanian menyebut salah satu penyebab lonjakan harga adalah rantai distribusi yang panjang serta peran tengkulak yang mempermainkan pasar. Sementara itu, Bulog sebagai penanggung jawab penyerapan dan penyaluran beras kerap terkendala penumpukan stok. Pada awal 2025, publik bahkan dikejutkan dengan temuan 300 ribu ton beras berkutu di gudang Bulog dengan kerugian mencapai Rp3,6 triliun.

Di sisi lain, bantuan pangan (bansos beras) yang seharusnya bisa menjadi penopang justru terhambat distribusinya, bahkan sempat direncanakan untuk dikurangi. Kondisi ini semakin menekan rakyat kecil yang setiap hari bergantung pada beras sebagai makanan pokok.

Masalah Bukan Teknis, Tapi Sistemis

Instruksi Presiden melalui Inpres 6/2025 agar Bulog menyerap gabah dengan harga Rp6.500/kg sempat disambut positif oleh petani. Namun, tanpa diimbangi sistem distribusi yang baik, kebijakan ini justru menimbulkan masalah baru. Beras menumpuk di gudang, kualitas menurun, bansos tertunda, dan harga di pasar tetap tinggi.

Kebijakan yang bersifat parsial sekadar serap gabah tanpa memperkuat rantai distribusi, pendataan penerima bansos, hingga pengawasan distribusi menjadi buah simalakama. Di satu sisi, pemerintah ingin melindungi petani, tapi di sisi lain rakyat justru menjerit karena harga beras makin mahal. Lemahnya pengawasan juga membuka ruang bagi praktik kartel, penimbunan, hingga manipulasi data bansos.

Fakta bahwa stok beras menumpuk di gudang Bulog sementara harga di pasar tetap tinggi menunjukkan adanya masalah serius dalam tata niaga. Banyak penggilingan beras berhenti beroperasi karena pasokan tidak mengalir lancar. Ironisnya, beras sebenarnya ada, tetapi hanya disimpan di gudang hingga kualitas menurun. Baru ketika harga melambung, stok itu dilepas ke pasar untuk “menstabilkan harga”. Praktik ini memperlihatkan betapa rapuhnya sistem distribusi pangan di Indonesia.

Kondisi ini bukan sekadar kesalahan teknis, melainkan sistemis. Dalam kerangka kapitalisme, beras diposisikan sebagai komoditas dagang, bukan kebutuhan pokok rakyat yang wajib dijamin negara. Akibatnya, peran negara makin mengecil sebatas regulator atau pemadam kebakaran yang bertindak hanya ketika harga sudah krisis. Sebaliknya, swasta besar justru mendominasi pasar, menentukan harga, bahkan menguasai hampir 90% stok beras nasional.

Kapitalisme telah menempatkan keuntungan segelintir pengusaha di atas kebutuhan mendasar rakyat. Rakyat kecil akhirnya menjadi pihak yang paling menderita: harga mahal, bansos tersendat, dan kualitas beras menurun. Inilah bukti bahwa masalah beras bukan sekadar soal produksi atau distribusi, tetapi akibat dari sistem kapitalisme yang membiarkan swasta menguasai hajat hidup orang banyak.

Islam Punya Jawaban Tuntas: Stabilitas Pangan Hanya dengan Khilafah

Dalam Islam, negara diposisikan sebagai pengurus rakyat (raa’in) yang wajib memenuhi kebutuhan pokok warganya, termasuk pangan. Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dipimpinnya (HR. Bukhari).

Karena beras adalah kebutuhan pokok, maka dalam sistem Khilafah, negara akan memastikan produksi dan distribusinya berjalan efektif. Setiap individu rakyat, baik kaya maupun miskin, muslim maupun nonmuslim, berhak dijamin kebutuhannya.

Produksi ditingkatkan melalui ekstensifikasi lahan (menghidupkan tanah mati), intensifikasi pertanian (benih unggul, pupuk, pestisida aman), penyuluhan, pembangunan irigasi dan infrastruktur pertanian, penyediaan alat dan mesin pertanian, serta bantuan modal tanpa riba. Semua fasilitas ini ditanggung negara sehingga petani bisa optimal menghasilkan beras.

Distribusi diawasi negara agar tidak ada penimbunan, monopoli, ataupun mafia beras. Rantai distribusi dari gudang ke pasar hingga ke rakyat dijaga transparan. Infrastruktur transportasi diperkuat, terutama untuk menjangkau daerah terpencil. Kadi hisbah berperan mengawasi pasar dan gudang agar tidak terjadi kecurangan.

Pendanaan dilakukan melalui baitulmal dengan sumber yang beragam: kharaj, jizyah, fai, ghanimah, hingga hasil kepemilikan umum seperti tambang, laut, dan hutan. Dengan sistem keuangan Islam, negara tidak bergantung pada utang atau kepentingan asing.

Dengan mekanisme itu, krisis beras tidak akan terjadi berulang. Sejarah mencatat, di masa kekhilafahan Umar bin Khattab, negara mampu menghadapi paceklik (tahun Ramadah) dengan distribusi pangan masif, hingga tidak seorang pun rakyatnya kelaparan. Inilah bukti nyata bahwa hanya dengan sistem Islam, problem pangan bisa dituntaskan.

Singkatnya, solusi sejati dari jeritan rakyat akibat beras mahal bukan sekadar menunggu kebijakan subsidi, operasi pasar, atau impor beras yang penuh kepentingan. Jalan keluar hakiki adalah kembali pada aturan Allah melalui sistem Islam kaffah dalam naungan khilafah.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |