Foto ilustrasi Cak AT: 10 Teknologi Penyelamat Planet. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA) RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Ah, planet bumi kita ini memang drama terbesar yang pernah ada: satu sisi kita menikmati kenyamanan teknologi modern, sisi lain kita sibuk menimbun sampah, mengebom udara dengan karbon, dan menenggelamkan diri dalam gaya hidup yang cepat habis.
Nah, baru-baru ini, World Economic Forum (WEF) mengeluarkan laporan yang bikin kita tersadar — bahwa sebenarnya ada setidaknya sepuluh teknologi kritis yang bisa mengubah cara kita menyalakan lampu rumah, menanam makanan, bahkan menyediakan air bersih, jika kita cukup peduli untuk memanfaatkan mereka.
Tapi sebelum kita masuk ke teknologinya, mari kita sedikit menyinggung siapa WEF ini, karena konteksnya penting.
WEF didirikan tahun 1971 oleh Klaus Schwab, seorang ekonom Swiss-Jerman.
Baca juga: PLN Sambung Gratis Listrik Rumah Warga Pra Sejahtera di Bali
Berkantor pusat di Jenewa, Swiss, WEF dikenal sebagai arena elit global—CEO perusahaan multinasional, pemimpin negara, tokoh akademis, dan bahkan selebritas sosial ekonomi bertemu di sini setiap tahun untuk membicarakan ekonomi, politik, sains, dan teknologi dunia.
Tidak jarang WEF dianggap lebih dari sekadar forum diskusi. Ia panggung di mana keputusan global lahir, terutama dalam hal investasi dan teknologi. Dominasi mereka tentu berasal dari negara-negara maju, terutama Amerika Serikat, Eropa Barat, dan beberapa kekuatan ekonomi Asia.
Jadi, ketika WEF bicara soal teknologi penyelamat planet bumi, kita tidak sedang mendengar suara mahasiswa atau aktivis lokal, tapi blueprint yang bisa memengaruhi miliaran manusia melalui kebijakan dan investasi global.
Laporan lengkap WEF bersama Frontiers di sini: https://reports.weforum.org/docs/WEF_10_Emerging_Technology_Solutions_for_Planetary_Health_2025.pdf.
Baca juga: Cahaya Terang Berisiko Terhadap Kesehatan Jantung, Kok Bisa?
Mari kita mulai dengan yang paling akrab bagi lidah kita sehari-hari: precision fermentation (fermentasi persis). Teknologi ini terdengar canggih — mikroba dicustom melalui modifikasi DNA untuk menghasilkan protein tertentu atau molekul bernilai tinggi.
Tapi kalau dipikir-pikir, manusia sudah melakukan fermentasi sejak ribuan tahun lalu: membuat tape dari ketan, tempe dari kedelai, bahkan yoghurt dan keju. Yang membedakan sekarang adalah skala dan presisinya.
Dengan bioreaktor modern, satu kilogram gula sederhana bisa diubah menjadi protein susu berkualitas tinggi, tanpa harus menanam ratusan hektar sapi.
Laporan WEF mencatat, penggunaan _precision fermentation_ bisa mengurangi emisi gas rumah kaca hingga 72%-97%, menghemat air 81%-91%, dan mengurangi kebutuhan lahan sampai 99% dibandingkan produksi susu konvensional.
Baca juga: Gawat, Jampidum Ungkap Judi Online Diminati Bocah SD Hingga Tunawisma
Bayangkan: tempe yang dulu kita anggap sederhana, jika dikombinasikan dengan teknologi ini, bisa menjadi solusi iklim global. Hanya saja, untuk mencapai potensi ini, regulasi harus mendukung, dan investasi finansial harus siap.
Tanpa itu, bioreaktor canggih pun cuma akan jadi mesin mahal di laboratorium, sementara manusia masih sibuk mengimpor kedelai GMO dan membahas rasa tempe import.
Teknologi kedua adalah green ammonia, sebuah solusi untuk masalah yang jarang kita sadari: pupuk. Produksi amonia konvensional mengkonsumsi sekitar 2% energi global dan menghasilkan emisi lebih besar dari proses kimia lain manapun. Sementara itu, pertanian —yang kita anggap polos— tanpa pupuk ini tidak bisa berjalan.
Green ammonia menawarkan jalan keluar: menggunakan energi terbarukan untuk mengubah nitrogen menjadi amonia, baik lewat listrik, cahaya matahari, atau bahkan mikroba.
Negara-negara seperti Maroko, Chile, Jepang, dan Australia sudah mulai menguji coba, dan beberapa bahkan menilai potensinya sebagai bahan bakar kapal.
Baca juga: PLN Icon Plus Ajak Masyarakat Kelola Sampah Lewat Program Sapu Jagad
Jika ujicoba itu berhasil, ini bukan hanya soal iklim, tapi juga peluang ekonomi dan sosial: pupuk lokal, energi hijau, dan industri baru yang bisa memberdayakan komunitas.
Selanjutnya, mari kita bicara tentang automated food waste upcycling. Di dunia nyata, kita sering melihat restoran atau rumah tangga membuang sisa makanan begitu saja.
Padahal, di beberapa belahan dunia, sisa nasi kemarin bisa jadi makanan utama hewan ternak, pupuk kompos, atau bahkan bahan baku bioplastik.
Dengan robot, AI, dan sensor canggih, teknologi ini bisa memisahkan makanan dari sampah lain seperti plastik atau kertas, sehingga memungkinkan skala industri. Pasar global untuk produk daur ulang makanan diperkirakan lebih dari $50 miliar, dan terus bertumbuh.
WEF menekankan pentingnya dukungan regulasi lokal: tanpa mandat nasional atau kota, dan tanpa standar kontaminasi, teknologi ini bisa tetap terperangkap di fasilitas besar, jauh dari dapur dan pasar lokal.
Baca juga: Produsen Elektronik Sharp Luncurkan Mobil Listrik LDK
Salah satu musuh terbesar iklim adalah methane, metana. Gas ini 80 kali lebih panas dari CO dalam jangka dua dekade. Pertanian, tempat pembuangan sampah, dan industri adalah sumbernya.
Tapi sekarang, dengan sensor kompak dan peralatan imaging murah, deteksi kebocoran metana bisa dilakukan bahkan di lokasi terpencil.
Beberapa peneliti bahkan menguji metode penangkapan langsung dari udara. Bayangkan, udara sekitar peternakan atau tempat pembuangan bisa dibersihkan dari metana, bukan cuma mengurangi pemanasan global, tapi juga memperbaiki kualitas udara bagi manusia di sekitarnya.
Kemudian ada green concrete. Beton adalah tulang punggung pembangunan, tapi produksinya bertanggung jawab atas sekitar 8% emisi CO global dan tekanan ekstraksi pasir. Green concrete menggunakan bahan sisa industri atau konstruksi, bahkan menyerap CO ke dalam matriksnya.
Bayangkan sebuah gedung modern yang bukan hanya kokoh tapi juga menyerap karbon dari udara. Ini nyata, dan bisa dikombinasikan dengan regulasi bangunan hijau dan obligasi hijau untuk mendorong pasar.
Baca juga: NUS Innovation Forum Jakarta Dorong Kolaborasi dalam AI, Ekonomi Digital, dan Deep Tech
Lalu, teknologi mobil listrik juga ikut “menabung” untuk bumi. Next-generation bi-directional charging memungkinkan energi dari baterai EV digunakan kembali untuk rumah, gedung, atau bahkan jaringan listrik lokal. Beberapa uji coba sudah dilakukan di Amerika Serikat dengan bus sekolah, juga di Kanada dengan jaringan pintar.
Bayangkan, mobil yang kita parkir setiap malam sebenarnya membantu menstabilkan listrik kota di siang hari —sebuah simbiosis teknologi yang sederhana tapi revolusioner.
Tidak ketinggalan timely and specific earth observation, pengamatan bumi dengan satelit dan sensor real-time untuk banjir, kekeringan, dan deforestasi. Eropa punya inisiatif Destination Earth, yang berupaya membuat digital twin planet kita.
Data ini bisa membantu pemerintah bertindak sebelum bencana terjadi, misalnya kekeringan air bersih di suatu wilayah.
Tapi laporan WEF menekankan pentingnya transparansi, akurasi, dan kerangka tata kelola data. Tanpa itu, satelit sehebat apapun hanya jadi foto cantik di layar komputer.
Baca juga: Sudah Clear, Soeharto Diusulkan Jadi Pahlawan Nasional
Berikutnya, _modular geothermal energy_ juga menawarkan janji besar: panas bumi bisa menyuplai listrik, tapi hanya 1% kebutuhan global saat ini.
Dengan sistem modular dan teknologi pengeboran baru, peluang untuk memperluas energi ini semakin besar, terutama jika regulasi dan risiko dibagi secara jelas.
_Regenerative desalination_ muncul sebagai jawaban bagi masalah air: sistem ini menggunakan energi terbarukan untuk menyaring air, mengurangi limbah dan emisi.
Mengurangi dukungan pada metode konvensional bisa mempercepat adopsi. Air bersih, yang kita anggap biasa, ternyata bisa jadi teknologi penyelamat planet.
Terakhir, soil health technology convergence. Tanah sehat adalah fondasi kehidupan. Kombinasi sensor, rekayasa mikroba, dan AI bisa membuat kesehatan tanah terlihat, diukur, dan diperbaiki. Standarisasi tanah, keselarasan data, dan insentif pasar adalah kunci agar teknologi ini bisa diadopsi luas.
Baca juga: Umroh Mandiri: Tak Semua yang Mandiri Siap Sendiri
Dari kesepuluh teknologi ini, satu hal jelas: tantangan terbesar bukan lagi menemukan solusi, tapi peduli dan mendukungnya —dengan regulasi, finansial, dan kesadaran publik.
Seringkali kita lebih peduli pada gadget baru atau tren kuliner daripada masa depan planet ini. Padahal, fermentasi sederhana di dapur atau beton hijau di proyek gedung bisa jadi revolusi jika kita mau mengubah cara kita berpikir dan bertindak.
Dan di sinilah kita bisa belajar refleksi: teknologi canggih dan solusi sederhana kadang berjalan berdampingan, tapi manusia harus memilih untuk menaruh perhatian.
Kalau kita masih bingung memilih tempe GMO atau lokal, bagaimana mungkin bisa benar-benar mengelola metana, energi, dan air untuk miliaran manusia?
Baca juga: Wakil Ketua DPRD Depok Yeti Wulandari Dukung Aksi Bersih Kali Cipinang, Ini Aksi dan Pesannya
Ironisnya, perhatian kecil kita sehari-hari —memilah sampah, memilih makanan, menanam pohon— juga bagian dari revolusi besar ini. Jadi bukan hanya alat canggih yang menyelamatkan bumi, tapi juga kesadaran dan tindakan kita.
Ah, bumi ini bukan laboratorium futuristik semata. Ia panggung drama, kelas belajar, dan refleksi kita —bahwa menjaga planet ini bukan hanya tentang teknologi, tapi tentang peduli.
Dan jika kita bisa mengubah kebiasaan sederhana, seperti membuat tempe lokal, memanfaatkan sisa makanan, atau memahami energi yang kita gunakan, kita sebenarnya sudah ikut menulis bab baru sejarah bumi. (***)
Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 27/10/2025

3 hours ago
1




























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5016061/original/098910800_1732180738-IMG-20241121-WA0027.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5275623/original/065000600_1751885979-Meatguy_Steakhouse__3_-min.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5280345/original/085190400_1752221910-pexels-towfiqu-barbhuiya-3440682-26707585.jpg)




:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5279254/original/067751900_1752132134-Kerak_Telor_JFK_2025.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5280821/original/002199600_1752287018-0E6A2474-01.jpeg)


