REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Tata kelola wisata dan mitigasi keterdamparan hiu paus menjadi sorotan utama dalam evaluasi Rencana Aksi Nasional (RAN) Konservasi Hiu Paus. Evaluasi ini digelar Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bersama Konservasi Indonesia (KI) dan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries, and Food Security (CTI-CFF) di Bogor.
Forum ini menilai capaian RAN 2021–2025 sekaligus merancang strategi baru untuk periode 2026–2029. Hiu paus (Rhincodon typus), spesies laut terbesar yang kini berstatus Endangered menurut IUCN, menghadapi tekanan serius dari wisata yang belum terkelola baik dan meningkatnya kasus keterdamparan.
Direktur Konservasi Spesies dan Genetik KKP, Sarmintohadi, menekankan pentingnya penguatan tata kelola. “Faktor seperti keterbatasan penanganan darurat saat hiu paus terdampar, serta aktivitas wisata yang tidak sesuai petunjuk teknis, menjadi catatan penting evaluasi kali ini,” ujarnya, dikutip dari pernyataan Konservasi Indonesia, Rabu (17/9/2025).
Meskipun aturan teknis wisata hiu paus sudah ada melalui Kepdirjen PRL No. 41/2020, implementasinya di lapangan masih belum optimal. “Dalam RAN 2026–2029, standar pengelolaan wisata yang ramah satwa dan berkelanjutan, serta penanganan keterdamparan akan menjadi prioritas utama,” tambah Sarmintohadi.
Vice President Program KI, Fitri Hasibuan, menegaskan strategi konservasi harus berbasis ilmu pengetahuan dan melibatkan masyarakat. “KI menempatkan konservasi hiu paus dalam konteks ekosistem dan kesejahteraan masyarakat. Dengan riset, tata kelola, dan partisipasi komunitas lokal, kita memastikan pengelolaan yang bukan hanya menjaga biodiversitas laut, tapi juga mendukung penghidupan berkelanjutan,” ujarnya.
Fitri menjelaskan, hiu paus memiliki sifat biologis yang rentan, yaitu pertumbuhan lambat, fekunditas rendah, dan umur matang panjang. Beberapa lokasi di Indonesia, seperti Teluk Cenderawasih, Teluk Saleh, Kaimana, Gorontalo, Probolinggo, dan Kepulauan Derawan, menjadi titik penting bagi hiu paus remaja. Posisi ini menempatkan Indonesia sebagai habitat utama populasi Indo-Pasifik sekaligus pemegang tanggung jawab global.
Data monitoring mencatat rata-rata 20 kasus keterdamparan hiu paus setiap tahun selama 2021–2025. Studi KI menunjukkan 71 persen hiu paus yang masih hidup saat ditemukan dapat dilepasliarkan. “Mitigasi keterdamparan menjadi salah satu fokus aksi karena potensi keberhasilan pelepasliaran cukup tinggi,” kata Fitri.
Konservasi hiu paus juga terkait erat dengan komitmen Indonesia dalam kerangka CTI-CFF. Spesies migrasi besar ini krusial bagi kesehatan ekosistem laut dan ekonomi biru. Melalui pendekatan Theory of Change, forum merumuskan prioritas aksi mulai dari perbaikan standar wisata, penguatan respons darurat keterdamparan, hingga perluasan kolaborasi multipihak.
“Penguatan tata kelola konservasi hiu paus bukan hanya menyelamatkan satu spesies karismatik, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem laut yang menopang kehidupan manusia,” kata Fitri.