Israel, Ketakutan Eksistensial dan Strategi Melemahkan Arab

3 hours ago 2

Oleh : Fahmi Salim, Ketua Umum FORDAMAI dan Direktur Baitul Maqdis Institute

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Serangan Israel ke markas Hamas di Doha ibukota Qatar pada 9 September 2025 yang diduga kuat terjadi atas restu dan lampu hijau dari Amerika Serikat membuat banyak kalangan menyimpulkan bahwa AS tidak bisa dipercaya bahkan oleh negara Teluk sekutu strategisnya sendiri. Pemimpin dan rakyat Qatar berhak terluka dan marah.

Presiden Prabowo sebagai kepala negara sahabat bagi Qatar langsung menelepon Emir Qatar pada 10 September dan melakukan lawatan resmi pada 12 September 2025 untuk menyatakan dukungan Indonesia kepada Qatar menghadapi ancaman yang ditebar Israel di kawasan. 

Pertanyaan yang lebih mendasar, mengapa Israel berani melakukan tindakan nekat seperti itu yang berpotensi merusak hubungan kemitraan strategis AS-Qatar, dan bisa membangunkan persatuan dunia Arab dan Islam untuk melawan proyek proposal Israel Raya yang diumumkan PM Benjamin Netanyahu?

Pertama, Israel selalu memandang dirinya adalah perwakilan dan polisi AS di Timur Tengah yang merasa berkewenangan melakukan tindakan penertiban dan hukuman kepada teroris. Netanyahu dalam konpers-nya pada 11 September 2025 bahkan membandingkan serangan Israel di Doha dengan invasi Amerika Serikat ke Afghanistan pasca serangan 11 September 2001, menegaskan bahwa Israel sedang “memburu dalang 7 Oktober 2023” yang memicu perang berkepanjangan dengan Hamas. “Saya katakan kepada Qatar dan semua negara yang melindungi teroris, usir mereka atau bawa mereka ke pengadilan. Jika tidak, kami yang akan melakukannya,” tegas Netanyahu, dikutip dari CBS News.

Kedua, perlu kita sadari bahwa negara zionis Israel selalu berpikir dalam kerangka kekhawatiran eksistensial. Sejak didirikan pada 1948, ia menyadari dirinya adalah entitas “abnormal” di kawasan Timur Tengah—sebuah negara kolonial yang berdiri di tengah-tengah bangsa Arab-Muslim dengan sejarah panjang peradaban dan identitas Islam. Keberadaannya yang “abnormal” di tengah kawasan Arab-Muslim membuat seluruh strategi kebijakan luar negeri dan keamanannya disusun untuk menjaga kelangsungan hidup negara itu selama dekade demi dekade — bahkan untuk abad yang akan datang. Untuk itu Israel tidak hanya mengandalkan superioritas militer dan aliansi strategis; ia juga menata medan politik dan ekonomi di sekelilingnya agar negara-negara tetangganya tetap lemah, tercerai-berai, dan jauh dari kemampuan nyata untuk menyeimbangkan kekuatan.

Keterasingan yang Melekat dan Logika Ketahanan

Meskipun ada beberapa negara Arab yang menjalin hubungan politik dan dagang melalui normalisasi—seperti Mesir (1979), Yordania (1994), Uni Emirat Arab, Maroko, Sudan dan Bahrain lewat Abraham Accords (2020)—Israel tetap merasa terasing. Survei Arab Barometer 2024 menunjukkan mayoritas rakyat Arab (70%) menolak normalisasi. Artinya, meski ada elit politik yang ‘shaken hand’ dengan Tel Aviv, hati rakyat tetap memandangnya sebagai entitas penjajah.

Keterasingan Israel adalah fakta politik dan psikologis: ia adalah negara yang lahir dari intervensi kolonial dan didukung oleh jaringan geopolitik asing. Rasa tidak-normal inilah yang melahirkan paranoia eksistensial — paranoia yang menuntun pada strategi panjang: jangan biarkan musuh potensial menyatu; jangan biarkan mereka membangun kapasitas yang bisa mengimbangimu. Keterasingan inilah yang melahirkan rasa tidak normal. Israel selalu dihantui pertanyaan: sampai kapan bisa bertahan? Karena itu, seluruh strategi keamanan dan politik luar negeri Israel dibangun atas rasa cemas kehilangan eksistensi.

Dua Garis Besar Strategi: Pecah Belah dan Menahan Kapasitas Ekonomi-Strategis

Untuk menjawab kecemasan itu, rekam jejak Israel sejauh ini berkepentingan menjaga dua hal pokok:

Keterpecahan Dunia Arab. Israel tidak pernah ingin melihat negara-negara Arab bersatu dalam satu agenda apalagi satu ideologi politik Islam. Rezim diktator Assad yang berkuasa 6 dekade di Suriah, kudeta militer terhadap Morsi di Mesir, instabilitas di Irak (sejak perang teluk hingga tumbangnya Saddam dan naiknya proxi Iran di panggung kuasa yang memicu gelombang kekerasan sektarian Syiah-Sunni), krisis Yaman, dan dualisme pemerintahan di Sudan dan Libia (baca: perang saudara) yang disokong dana besar UEA (sekutu utama dan sponsor Abraham Accords) —semua tak lepas dari rencana strategis yang pada akhirnya menguntungkan Israel. Dengan kondisi negara-negara Arab sibuk pada konflik internal, proyek pembangunan ekonomi, industri, dan pertahanan mereka lumpuh.

Superioritas Militer dan Nuklir. Israel menjaga dirinya sebagai kekuatan militer terkuat di kawasan. Menurut Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) 2023, Israel memiliki pengeluaran militer sebesar 23,4 miliar dolar AS (sekitar 4,5 persen dari PDB). Di saat yang sama, ia diyakini memiliki 80–90 hulu ledak nuklir, menjadikannya satu-satunya negara nuklir di Timur Tengah. Prinsip yang dipegang Israel sederhana: tidak boleh ada perimbangan kekuatan. Baik Mesir, Suriah, bahkan Iran, harus tetap berada di bawah hegemoni militer Israel. Inilah mengapa Israel secara konsisten menentang program nuklir Iran, meski Iran berkali-kali menegaskan programnya untuk tujuan damai.

Strategi Israel berlapis. Tidak hanya dua strategi di atas saja. Tetapi ada strategi ketiga yang kerap luput dari perhatian kita namun terasa auranya, yaitu: pengaturan medan ekonomi dan arah investasi di dunia Arab, khususnya di kawasan Teluk.

Strategi Ketiga: Menjauhkan Arab dari Kekayaan Produktif

Israel berkepentingan agar negara-negara Arab, terutama yang kaya minyak, tidak mengalihkan sumber daya besar mereka untuk membangun modal manusia, riset dan teknologi, dan industri pertahanan yang kokoh. Strategi implisitnya berjalan melalui beberapa mekanisme:

Normalisasi sebagai Isolasi Moral demi Kapitalisme Hiburan

Hubungan bisnis, turisme, proyek megainfrastruktur, dan kerja sama budaya diarahkan pada proyek-proyek prestisius — ikon arsitektur, resor mewah, pusat hiburan, stadion, dan high-profile branding internasional. Proyek-proyek semacam ini memberi legitimasi internasional dan prestise bagi penguasa, tetapi hanya sedikit membangun kapasitas strategis jangka panjang seperti riset militer, manufaktur teknologi tinggi, dan pendidikan teknik massal.

Pengalihan Dana ke Konsumsi dan Prestise Politik

Aliran modal besar dialirkan ke sektor yang menyerap uang tanpa mengubah struktur ekonomi: real estate mewah, acara spektakuler, dan investasi pasif. Ini memperkuat kelas penguasa dan elit konsumtif, tetapi relatif sedikit berkontribusi pada pengembangan SDM yang mampu mendesain sistem persenjataan, mengembangkan IT pertahanan, atau membangun ekosistem industri berat.

Kemitraan Teknologi yang Mengikat dalam Pola Non-transfer

Kerja sama teknologi dengan negara-negara Barat sering berbentuk kemitraan yang menguntungkan pihak donor—lisensi, joint venture yang mengunci transfer teknologi, dan penjagaan hak kekayaan intelektual—sehingga negara tuan rumah yang punya duit jumbo tetap menjadi konsumen teknologi canggih, bukan produsen. Dalam kondisi seperti itu, pembangunan industri pertahanan mandiri mustahil tumbuh dalam tempo yang mengancam superioritas Israel di kawasan.

Membiayai Stabilitas Rezim, Bukan Ketahanan Nasional

Dana besar digunakan untuk menjaga institusi keamanan rezim—aparat intelijen, polisi, perlindungan internal—bukan untuk membiayai pembangunan nasional yang mendasar: pendidikan tinggi berbasis sains, penelitian terapan, manufaktur strategis, dan infrastruktur dual-use (sipil-militer). Akibatnya, negara-negara kaya di Teluk Arab tetap bergantung pada impor teknologi militer dan dukungan eksternal untuk melindungi kursi kekuasaan.

Akibat Jangka Panjang: Ketidakseimbangan Kekuatan yang Direkayasa

Israel berpikir dalam horizon jangka panjang: bagaimana agar eksistensinya tidak hanya bertahan beberapa dekade, tetapi berabad-abad. Untuk itu, ia tidak cukup hanya mengandalkan hubungan dengan Amerika Serikat atau Eropa. Israel berusaha menancapkan pengaruh ekonomi, teknologi, dan keamanan di seluruh kawasan.

Hasil dari strategi ini adalah terpeliharanya ketidakseimbangan kekuatan. Sementara Israel memperkuat rantai nilai industrinya, memprioritaskan R&D pertahanan, dan menjaga hegemoni nuklir maupun konvensional, negara-negara tetangganya larut dalam siklus konsumsi dan legitimasi elit. Sistem ekonomi yang tidak mendukung transformasi teknologi dan kapasitas SDM membuat negara-negara Arab sulit mengejar ketertinggalan strategis dalam tempo singkat — tepat seperti yang Israel perlukan.

Mengapa Ini Penting bagi Umat?

Mengalihkan debat dari sekadar “siapa meledakkan apa” dan “kok bisa Israel senekat itu melanggar kedaulatan Qatar sekutu strategis AS?”, menuju “bagaimana kapasitas strategis umat dirampas dan apa solusinya?” membuka ruang perspektif baru: konflik bukan hanya soal wilayah, melainkan soal kemampuan bangsa-bangsa muslim untuk menentukan nasibnya. Ketika kekayaan dikelola untuk hiburan dan prestige politik, bukan untuk mengedukasi generasi ilmuwan dan insinyur, maka akar kemampuan berdaulat pun terkikis. Itulah yang paling ditakuti: bukan hanya roket yang meruntuhkan gedung markas Hamas, melainkan sebuah proses panjang yang membuat umat kehilangan kemampuan untuk mempertahankan diri secara teknis dan strategis.

Sebab, ada satu hal yang selalu merisaukan dan menghantui entitas zionis: bangkitnya kesadaran umat Islam. Jika negara-negara Arab menemukan kembali persatuan dan menghubungkan derita Palestina dengan nasib mereka sendiri, maka seluruh proyek hegemoni Israel bisa runtuh.

Perlawanan Harus Bersifat Struktural

Jika perlawanan hanya berorientasi pada retorika politik tanpa transformasi struktural—pendidikan, riset, manufaktur, dan ekonomi produktif—maka kemenangan yang dicapai bersifat sementara. Untuk menyeimbangkan kekuatan—dan untuk menyingkap ilusi normalisasi—umat perlu menuntut arah investasi yang berbeda: dari glamor ke produktif; dari konsumsi politik ke pembangunan SDM dan iptek; dari proyek prestise ke kemandirian industri pertahanan dan teknologi.

Israel sadari betul ini. Karena itu strategi jangka panjangnya tidak hanya mengadu domba, tetapi juga mengalihkan arus kekayaan sehingga tetangga kaya tetap kaya secara nominal, namun miskin strategis dalam kemampuan berdaulat. Menghadapi skenario ini menuntut visi jauh ke depan: persatuan politik dipadu transformasi ekonomi intelektual yang nyata—barulah keseimbangan otentik dapat tercapai.

Wallahu a’lam..

Read Entire Article
Food |