Kita Sedang Kehilangan Cara Mendidik Anak

4 hours ago 2

Image Jeje Zaenudin

Edukasi | 2025-10-19 09:07:11

Ilustrasi: Kekerasan terhadap perempuan.

Oleh: Jeje Zaenudin Mahasiswa Universitas Buana Perjuangan Karawang

Kasus dugaan pemerkosaan terhadap seorang siswi SMP oleh enam orang temannya di Karawang bukan sekadar berita kriminal. Ini adalah potret buram dari rapuhnya nilai moral, empati, dan kontrol sosial di sekitar kita. Pertanyaannya sederhana tapi menyesakkan: bagaimana mungkin anak-anak yang seharusnya belajar dan bermain justru berubah menjadi pelaku kekerasan yang menghancurkan masa depan teman sebayanya?

Sebagai mahasiswa, saya melihat persoalan ini bukan berdiri sendiri. Ia adalah hasil dari krisis lingkungan sosial yang dibiarkan tumbuh tanpa arah — ketika pendidikan kehilangan fungsinya sebagai pembentuk karakter, keluarga sibuk bertahan hidup, dan masyarakat lebih cepat menghakimi daripada mendidik.

Pertama, keluarga kini sering kehilangan peran dasarnya. Banyak orang tua terlalu fokus pada ekonomi, lupa menjadi tempat anak berkeluh kesah. Padahal dari keluargalah anak belajar tentang batas, empati, dan tanggung jawab. Ketika rumah tak lagi menjadi ruang dialog, anak mencari pengakuan di luar — dan di sanalah potensi kekerasan mulai tumbuh.

Kedua, pendidikan kita terlalu kering dari nilai kemanusiaan. Sekolah berlomba pada nilai akademik, tapi gagal menanamkan nilai moral dan empati. Pendidikan seks dan literasi kekerasan seksual pun masih dianggap tabu, padahal justru ketidaktahuan membuat remaja salah memahami tubuh, batas, dan rasa hormat terhadap orang lain.

Ketiga, lingkungan digital memperparah situasi. Akses bebas terhadap konten kekerasan dan pornografi menciptakan generasi yang tahu banyak hal, tapi tak paham tanggung jawab. Tanpa pendampingan, dunia maya menjadi guru yang salah arah bagi anak-anak yang sedang mencari jati diri.

Dan keempat, masyarakat kita masih cenderung diam. Saat kekerasan terjadi, yang lebih dulu muncul adalah stigma, bukan empati. Korban disalahkan, pelaku dibela karena “masih anak-anak.” Pola ini yang membuat kekerasan terus berulang, karena tidak ada rasa takut sosial bagi pelaku, dan tidak ada rasa aman bagi korban.

Indonesia harus berhenti menormalisasi kekerasan. Sekolah harus berani membuka ruang pendidikan moral dan seksualitas berbasis empati, keluarga harus kembali menjadi tempat pulang yang aman, dan masyarakat harus belajar memanusiakan korban.

Kasus ini adalah peringatan. Jika kita tidak memperbaiki cara mendidik dan menjaga anak-anak hari ini, maka masa depan bangsa akan lahir dari luka dan rasa takut.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |