Menteri LH Minta Adipura Tak Hanya Sekedar Penghargaan

4 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Hanif Faisol Nurofiq menyerukan perbaikan menyeluruh terhadap sistem pengendalian lingkungan hidup nasional. Dalam refleksi satu tahun masa jabatannya sebagai Menteri LHK sekaligus Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (BPLH), Hanif menilai lemahnya kontrol pusat selama lebih dari satu dekade telah menyebabkan degradasi lingkungan di berbagai daerah.

“Badan pengendalian lingkungan hidup sudah cukup lama kita tinggalkan, hampir 15 tahun, kewenangan lingkungan hidup kita serahkan ke daerah tanpa kontrol sama sekali. Hari ini yang terjadi, hampir semua tata lingkungan kita terdistruksi dengan sangat serius," kata Hanif di Refleksi Satu Tahun KLH/BPLH, Senin (20/10/2025).

Hanif menyoroti persoalan sampah sebagai contoh paling nyata dari lemahnya pengelolaan lingkungan. Menurutnya, meskipun Indonesia merupakan negara besar, masalah dasar seperti pengelolaan sampah belum mampu diselesaikan. Ia membandingkan dengan negara kecil seperti Singapura dan Norwegia yang dinilai lebih berhasil mengatur sistem pengelolaan lingkungannya.

“Untuk hal yang sangat sepele saja, yaitu sampah, kita negara besar belum mampu menanganinya, mereka yang penduduknya hanya 9 juta atau kurang dari 30 juta mampu mengatur dirinya. Kita yang besar justru melupakan hal ini," katanya.

Ia mengungkapkan, kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah memperparah kondisi tersebut. Banyak kepala daerah, menurut Hanif, lebih fokus pada program populer daripada kebijakan lingkungan yang berkelanjutan. Akibatnya, masalah seperti sampah terus menumpuk hingga pemerintah harus menetapkan status darurat sampah di lebih dari 260 kota.

“Menteri Lingkungan Hidup telah menandatangani keputusan kedaruratan sampah untuk lebih dari 261 kota. Artinya, kita belum mampu menyentuh substansi permasalahan lingkungan,” katanya.

Ia juga menyoroti pemberian penghargaan Adipura yang dinilai tidak mencerminkan kondisi sesungguhnya di lapangan. “Adipura melebar, hampir semua kota dapat Adipura. Begitu Menteri dilantik, banyak TPA ditutup. Ini adipura-puraan, sudahlah cukup,” ujarnya.

Hanif menyerukan agar penghargaan semu dihentikan dan fokus diarahkan pada perbaikan substantif. Ia menegaskan pentingnya menjalankan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dua pasal dalam undang-undang tersebut—Pasal 73 dan Pasal 77—memberikan dasar hukum bagi Kementerian untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum secara langsung ketika pemerintah daerah lalai.

“Tanpa itu, maka tanggung jawab lingkungan hidup hanya berhenti di kabupaten atau sektor masing-masing. Tapi dengan pasal itu, tanggung jawab hilir ada di kita, di Kementerian Lingkungan Hidup,” ujar Hanif.

Ia mencontohkan berbagai kasus seperti tumpahan minyak kapal tanker, kebocoran tambang, hingga ledakan pabrik yang semuanya bermuara pada tanggung jawab kementerian. Dalam refleksinya, Hanif mengakui satu tahun pertama kepemimpinannya masih menjadi masa pembelajaran. Namun ia menegaskan perlunya evaluasi dan pembenahan internal agar kementerian dapat menunjukkan hasil nyata kepada publik.

“Masyarakat masih belum melihat secara konkret apa yang telah kita lakukan, hari ini, Menteri masih berputar di Jawa Barat, DKI, dan seterusnya, padahal Indonesia luas," katanya.

Ia mendorong agar seluruh jajaran membuka diri terhadap kolaborasi lintas wilayah dan sektor, serta mulai bekerja dengan target nasional yang jelas. Menurutnya, hingga kini kementerian belum memiliki tolok ukur jangka menengah untuk menuntaskan masalah lingkungan seperti pencemaran sungai.

“Boleh enggak kita memiliki target nasional yang bisa diimplementasikan sampai ke daerah? Kita punya ribuan sungai, tapi target lima tahun kita berapa? Saya ingin satu sewindu saja, kita selesaikan satu sungai," kata Hanif.

Sebagai contoh, Hanif menantang jajarannya menuntaskan rehabilitasi Sungai Cipinang—yang melintas di depan kantor Kementerian LHK di Jakarta. Ia menyayangkan kondisi sungai yang tetap kotor meski berada di pusat administrasi lingkungan hidup nasional.

“Selama kantor ini berdiri, sungai itu tetap bau dan kotor, dan kita tidak pernah apa-apain. Padahal itu di kaki kita,” katanya.

Hanif menegaskan, Sungai Cipinang dapat menjadi proyek percontohan (showcase) bagi pengelolaan sungai lain di Indonesia. Ia menilai, jika kementerian tidak mampu menuntaskan sungai sepanjang 33 kilometer itu, maka sulit berharap penanganan sungai besar seperti Ciliwung, Citarum, atau Mahakam bisa dilakukan.

“Kalau tidak mampu menyelesaikan sungai 33 kilometer, tidak usah bicara besar. Bohong kalau sungai kecil saja tidak bisa kita tangani,” tegasnya.

Ia mengajak seluruh pegawai kementerian untuk bersama-sama menjadikan proyek ini sebagai simbol keseriusan pemerintah dalam penanganan lingkungan. “Saya ingin kita membuka diri, kacamatanya dibuka selebar-lebarnya, buka koneksi sebesar-besarnya,” pungkas Hanif. 

Read Entire Article
Food |