Polemik Tarif Ojol, IDEAS Usul Pembentukan Dewan Tripartit

8 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rencana pemerintah menaikkan tarif ojek online (ojol) hingga 15 persen menuai polemik di tengah ekosistem transportasi digital. Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) menilai, kebijakan ini belum menyentuh akar persoalan relasi kerja dalam sektor ride hailing.

“Karena persoalannya bukan cuma tarif, maka solusinya harus lebih strategis dan berkelanjutan, seperti pembentukan dewan tripartit sektor ride hailing yang mengikat pemerintah, aplikator, dan pengemudi,” kata Peneliti IDEAS, Muhammad Anwar, Jumat (4/7/2025).

Anwar menilai, ekosistem transportasi online memiliki persoalan yang kompleks dan tak cukup diatasi hanya lewat kebijakan tarif. Diperlukan komunikasi intensif dan struktur hubungan kerja yang lebih setara antar pelaku dalam industri ini.

“Semacam dewan ketenagakerjaan, karena akar masalahnya adalah relasi kuasa yang nyaris mutlak antara aplikator terhadap pengemudi,” ujarnya.

Menurut survei IDEAS pada 2023 terhadap 225 pengemudi ojol di 10 simpul transportasi Jabodetabek, mayoritas pengemudi bekerja dalam kondisi yang jauh dari layak. Sebanyak 68,9 persen responden mengaku bekerja antara 9 hingga 16 jam per hari, dan 79,6 persen bekerja 6—7 hari per pekan, nyaris tanpa hari libur.

“Situasi ini jauh dari standar kerja layak yang ditetapkan ILO (Organisasi Perburuhan Internasional),” kata Anwar.

Masalah lain yang muncul antara lain soal kejelasan perjanjian kerja, akses pada perlindungan sosial, keterlibatan dalam pengambilan keputusan, serta representasi yang lemah di hadapan aplikator.

“Kenaikan tarif ini hanya merespons soal pendapatan yang layak saja, itu pun menurut hitung-hitungan kami belum memadai,” ujar Anwar.

Meski kebijakan tarif berpotensi menambah penghasilan, Anwar menilai tambahan itu tidak signifikan jika dibandingkan dengan realitas ekonomi yang dihadapi pekerja sektor informal.

“Rencana kenaikan tarif ojol ini jelas tidak menyentuh akar persoalan utama, yaitu relasi kuasa yang timpang antara penyedia layanan/aplikator dan pengemudi,” ujarnya.

Dalam struktur kerja platform digital, lanjut Anwar, pengemudi memang disebut sebagai mitra. Namun dalam praktiknya, mereka tak punya posisi tawar yang cukup dalam menentukan skema kerja, insentif, maupun potongan pendapatan.

Read Entire Article
Food |