REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Belum berbilang pekan setelah berpulang pada 27 Januari 2008, isu pemberian gelar pahlawan sudah mencuat. Ia polemik yang terus bergulir hingga saat ini.
Merujuk arsip Republika, pada akhir Januari 2008 sas-sus soal pemberian gelar pahlawan untuk Pak Harto mulai bergulir. Kala itu, Juru Bicara Kepresidenan, Andi Mallarangeng, langsung menampik. Ia menyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menilai pemberian gelar itu bukan prioritas.
Perdebatan mengenai perlu tidaknya pemberian gelar pahlawan bagi Soeharto saat itu muncul menyusul usulan sejumlah elite Partai Golkar. Petinggi Golkar yang juga gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Muladi, menyatakan rencana partainya untuk mengusulkan penganugerahan gelar pahlawan untuk menghormati jasa-jasa seorang pemimpin.
Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, saat itu menilai penetapan status pahlawan untuk almarhum mantan Presiden Soeharto harus menunggu saat yang tepat, yaitu setelah seluruh kasus pidana dan perdatanya tuntas. Bila tidak, maka status kepahlawanan yang diusulkan oleh Partai Golkar itu cuma akan menjadi kontroversi lanjutan untuk Soeharto. ''Saya malah kasihan sama Pak Harto, sebelum meninggal ada kontroversi status hukumnya. Ini baru dikubur sudah ada kontroversi gelar pahlawan,'' kata Hidayat.
Perkara perdata utama yang melibatkan Soeharto kala itu adalah gugatan atas dugaan penyelewengan dana dari yayasan yang didirikannya, terutama Yayasan Supersemar, yang diajukan oleh pemerintah pada tahun 2007. Belakangan, meski yayasan itu dinyatakan bersalah, Soeharto dilepaskan dari kesalahan oleh pengadilan.
Bagi korban kebijakan politik Soeharto, gelar pahlawan kala itu dinilai kontradiktif dengan langkah pemerintah yang tengah mengajukan gugatan tersebut. ''Tidak bisa! (Pemberian gelar pahlawan itu) sulit diterima,'' kata Usman Hamid, koordinator LSM Kontras saat itu.
Menurut Usman, ada dua alasan mengapa gelar pahlawan tidak boleh disandang Soeharto. Pertama, gelar itu bertabrakan dengan Ketetapan MPR Nomor 11 tahun 1998 tentang pemberantasan KKN tanpa pandang bulu terhadap pejabat negara, mantan pejabat negara, termasuk mantan Presiden Soeharto dan kroni-kroninya. Kedua, gelar pahlawan untuk Soeharto juga bertabrakan dengan status hukum yang tetap dipanggulnya sampai akhir hayat, yaitu terdakwa. ''Golkar keliru untuk mengusulkan hal ini. Usulan ini sama tidak masuk akalnya dengan usulan deponering kasus Soeharto,'' kata Usman.
Pada saat yang sama pemerintah sedang melanjutkan gugatan perdata dan tindak KKN lainnya ke Soeharto. Wakil Ketua MPR saat itu, AM Fatwa, yang pernah dipenjara oleh rezim Soeharto, menilai kalaupun akan diberi gelar pahlawan, gelar itu bukan dari sisi kebijakan politik Soeharto. ''Itu harus dipisah dan biarkan saja jadi perbincangan sejarah, bisa ditimbang dan dikalkulasi apa pantas jadi pahlawan, kita objektif saja.''
Para aktivis 98 juga menolak rencana pemberian gelar terhadap mantan presiden Soeharto. Sebagai bentuk penolakan, mereka mengajukan uji materi Undang Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Oktober 2008.
Mereka menolak pemberian gelar pahlawan dengan alasan Soeharto telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dan persoalan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ada tujuh kesalahan Soeharto yang menjadi dasar para aktivis menolak pemberian gelar pahlawan itu.
Alasan itu adalah pembantaian massal pada 1965, sebagai efek dari gerakan 30 September; Petrus (pembunuhan misterius) pada 1981 terhadap orang yang dianggap penjahat kambuhan; keterlibatan dalam kasus Tanjung Priok; pemberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal sehingga yang menentang dianggap sebagai garis keras; penculikan dan pemenjaraan aktivis mahasiswa; mengguritanya KKN; serta operasi militer di Lampung, Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Setelah polemik itu berjalan dua tahun, Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa memastikan mantan presiden Soeharto tidak mendapat gelar pahlawan nasional. Pemerintah melalui Keputusan Presiden No 52 TK/2010 akhirnya memberikan gelar pahlawan nasional hanya kepada dua tokoh, yaitu Dr Johannes Leimena dan Johannes Abraham Dimara.
Kementerian Sosial saat itu mengajukan 10 nama tokoh yang telah diseleksi untuk memperoleh gelar pahlawan nasional kepada Dewan Gelar, Tanda Kehormatan, dan Tanda Jasa. Sepuluh tokoh itu adalah mantan gubernur DKI Ali Sadikin dari Jawa Barat, Habib Sayid Al Jufrie dari Sulawesi Tengah, mantan presiden HM Soeharto dari Jawa Tengah, dan mantan presiden KH Abdurrahman Wahid dari Jawa Timur. Kemudian, Andi Depu dari Sulawesi Barat, Johanes Leimena dari Maluku, Abraham Dimara dari Papua, Andi Makkasau dari Sulawesi Selatan, Pakubuwono X dari Jawa Tengah, dan Sanusi dari Jawa Barat.

3 hours ago
2




























:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5016061/original/098910800_1732180738-IMG-20241121-WA0027.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5279254/original/067751900_1752132134-Kerak_Telor_JFK_2025.jpeg)

:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5280345/original/085190400_1752221910-pexels-towfiqu-barbhuiya-3440682-26707585.jpg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)


:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5280821/original/002199600_1752287018-0E6A2474-01.jpeg)
:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5005646/original/001862500_1731587965-Screenshot_2024-11-07_201311.jpg)

