Pengemudi ojek online (Ojol) menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, pada Mei lalu. Tarif ojek online diwancakan akan naik sebesar 15 persen.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejumlah pengemudi ojek online (ojol) menanggapi dengan rasa khawatir terkait wacana kenaikan tarif ojek daring sebesar 8–15 persen. Mereka menilai kebijakan ini berpotensi membuat pelanggan makin sepi, terlebih jika aplikator kembali terlibat dalam perang diskon dan promo.
“Ya paling kita khawatir penumpang berkurang, mereka bisa pindah ke transportasi lain atau nyari promo di kompetitor. Kan aplikator juga kasih potongan Rp1.000 per pesanan buat customer,” kata Dedi (42), salah satu pengemudi ojol, Rabu (2/7/2025).
Menurut Dedi, saat ini pun pendapatan sudah menurun drastis karena promo dan potongan besar dari para aplikator. “Kalau kita kena potongan sampai 20 persen. Kasihan customer juga, sudah dipotong di penggunaan aplikasi,” ujarnya.
Ia juga menyebut perang diskon dan perang tarif antar aplikator membuat para mitra pengemudi berada dalam posisi sulit. “Sekarang aja tarif normal sudah sepi penumpang, sehari cuma bisa dapat satu dua order,” lanjutnya.
Hal senada disampaikan Yogi (25), seorang mahasiswa yang juga menjadi pengemudi ojol paruh waktu. Ia baru mendengar soal wacana kenaikan tarif tersebut, namun mengaku belum tahu dampaknya secara pasti.
“Kalau tarif naik, bisa saja peminat turun. Potongan juga sudah gede, sampai 20 persen. Kadang orderan Rp40 ribu, dipotong tinggal dapat Rp2 ribuan per kilometer,” kata Yogi.
Ia berharap potongan dari aplikator bisa ditekan agar pendapatan pengemudi lebih layak. “Harapannya biaya admin dikurangi. Argo food misalnya, pesanannya Rp10 ribu, tapi pelanggan bayar ongkir Rp19 ribu,” katanya
Pengemudi berharap pemerintah atau aplikator tak hanya menaikkan tarif, tetapi juga meninjau ulang potongan dan sistem insentif agar tetap adil dan berkelanjutan bagi mitra.