REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Laporan terbaru World Inequality Report 2026 menunjukkan ketimpangan pendapatan dan kekayaan di Indonesia masih berada pada level tinggi. Pengamat menilai kondisi ini dipicu oleh kuatnya eksistensi oligarki serta lemahnya daya saing perekonomian domestik.
Merujuk laporan tersebut, ketimpangan di Indonesia relatif tak banyak berubah dalam satu dekade terakhir. Sebanyak 10 persen kelompok teratas menerima sekitar 46 persen dari total pendapatan, sementara 50 persen kelompok terbawah hanya menerima 14 persen. Konsentrasi kekayaan bahkan lebih timpang. 10 persen orang terkaya menguasai sekitar 59 persen total kekayaan, sedangkan 1 persen teratas menguasai 20 persen.
Kesenjangan pendapatan antara 10 persen teratas dan 50 persen terbawah turut melebar dari 25 poin pada 2014 menjadi 33 poin pada 2024. Data tersebut menunjukkan meningkatnya disparitas kesejahteraan antarkelompok.
Pengamat ekonomi yang juga Direktur Next Policy, Yusuf Wibisono, menyebut Indonesia menghadapi persoalan kesenjangan ekonomi yang akut sejak lama. Konsentrasi kapital mulai menguat sejak 1970-an, berlanjut sepanjang era Orde Baru, dan tidak mampu diredam krisis 1997–1998. Pada masa reformasi, ketimpangan tersebut justru semakin tajam.
“Dalam dekade terakhir, konsentrasi kapital terlihat semakin mengental di Indonesia, kekayaan negeri semakin terkonsentrasi di tangan segelintir elite ekonomi yang sangat berkuasa yakni oligarki,” kata Yusuf kepada Republika, Jumat (12/12/2025).
Ia menilai setidaknya ada dua faktor utama penyebab tingginya ketimpangan. Pertama, eksistensi oligarki baik warisan Orde Baru maupun oligarki baru yang lahir di era reformasi. Yusuf menjelaskan, setelah kejatuhan rezim otoriter, kelompok oligarki dengan cepat beradaptasi dengan sistem demokrasi melalui politik uang dan jaringan patronase baru.
Penguasaan kekayaan material oleh elite tersebut menciptakan dominasi politik dalam sistem demokrasi langsung. Kontestasi politik menjadi ruang yang subur bagi perluasan pengaruh oligarki, sementara publik dinilainya gagal menghadirkan tantangan yang dapat membatasi dominasi itu.
Faktor kedua adalah melemahnya daya saing perekonomian nasional, khususnya sektor manufaktur. Indonesia semakin bergantung pada ekspor komoditas dan sektor ekstraktif untuk menjaga pertumbuhan ekonomi. Ketergantungan ini semakin menguatkan posisi oligarki yang menguasai sektor tersebut.
“Melemahnya daya saing industri nasional semakin parah dalam dekade terakhir seiring perang dagang AS–China yang berkobar sejak 2017, yang membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dalam rantai pasok global,” kata Yusuf.
Arus relokasi pabrik dari China ke Asia Tenggara lebih banyak mengarah ke Vietnam, Thailand, dan Malaysia. Sebaliknya, Indonesia justru mengalami lonjakan impor dari China, termasuk produk yang terindikasi dumping, sehingga memukul industri dalam negeri.
Kombinasi buruknya iklim investasi dan dampak perang dagang membuat Indonesia makin tertinggal, sementara investasi bertumpu pada sektor ekstraktif seperti tambang dan sawit yang padat modal namun minim penyerapan tenaga kerja dan memiliki dampak lingkungan besar.
“Dalam dekade terakhir kita terseret pada jebakan pertumbuhan ekonomi berkualitas rendah, yaitu pertumbuhan berbasis sektor ekstraktif yang lebih bertumpu pada eksploitasi sumber daya alam,” ujarnya.
Untuk memperbaiki kondisi tersebut, Yusuf menilai Indonesia membutuhkan reformasi besar dan kebijakan afirmatif yang serius. Menurutnya, reformasi terpenting adalah memutus ketergantungan partai politik dan pejabat publik pada oligarki. Bantuan dana APBN untuk partai dan kandidat dinilai dapat menjadi langkah awal mengurangi biaya politik tinggi dan meminimalkan pengaruh pemilik modal.
Kebijakan krusial lainnya adalah mengubah strategi industrialisasi yang selama ini bertumpu pada hilirisasi tambang dan perkebunan. Yusuf mendorong pergeseran menuju strategi domestic demand-led growth melalui penguatan sektor pertanian, perikanan, dan peternakan berbasis rakyat, disertai hilirisasi di sektor tersebut.
Strategi ini dinilai lebih berkelanjutan dalam menciptakan lapangan kerja serta memberikan manfaat lebih luas, sekaligus mengoptimalkan bonus demografi yang kini berada di puncaknya. Ia mengingatkan bahwa kesempatan Indonesia memanfaatkan bonus demografi tinggal beberapa tahun lagi.
“Waktu kita tidak banyak tersisa. Puncak bonus demografi akan berakhir pada 2030. Waktu tersisa untuk meraih posisi sebagai high income country hanya tersisa 5 tahun,” ujarnya.

4 hours ago
2
































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)












