Belajar dari Nepal: Ketika Demokrasi Meneteskan Darah

3 hours ago 3

Image Diva Jauza Az-Zahra

Politik | 2025-10-05 22:05:50

Beberapa waktu lalu saya membaca tulisan menarik karya dosen pengampu Pendidikan Pancasila saya yakni Drs. Study Rizal LK, MA. di Kompasiana yang berjudul “Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah” . Artikel ini menyoroti bagaimana kebijakan pemerintah Nepal yang melarang media sosial justru memicu gelombang protes besar dan kekerasan. Dari sana, saya belajar bahwa demokrasi bukan hanya soal pemilu dan kebebasan formal, tetapi juga soal keberanian negara untuk mendengar suara rakyatnya.


Drs. Study Rizal menggambarkan betapa larangan terhadap media sosial di Nepal menjadi pemantik amarah rakyat. Bukan semata karena mereka kehilangan akses hiburan, tetapi karena ruang dialog dan ekspresi tiba-tiba ditutup. Dalam demokrasi, kebebasan berpendapat adalah urat nadi dan ketika ia diputus, rakyat mencari jalan lain untuk bersuara salah satunya turun ke jalanan.


Sayangnya, pemerintah justru merespons dengan kekerasan. Gas air mata dan peluru karet menjadi simbol betapa mudah demokrasi berubah wajah menjadi otoritarian ketika kritik dianggap ancaman.
Tulisan tersebut menyentuh hal mendasar bahwa demokrasi tidak bisa berhenti pada tataran prosedur. Pemilu, partai politik, dan lembaga perwakilan memang penting, tapi tanpa keadilan sosial, transparansi, dan ruang publik yang sehat, demokrasi akan kehilangan makna.


Pelajaran dari Nepal mengingatkan kita bahwa demokrasi sejati adalah tentang mendengarkan, bukan sekadar berbicara dari podium kekuasaan. Negara yang menutup telinga terhadap kritik rakyat sesungguhnya sedang menyiapkan kubur bagi legitimasi dirinya sendiri.
Bagi saya, refleksi ini relevan juga bagi Indonesia. Apakah kita sudah benar-benar membuka ruang bagi kritik dan perbedaan pendapat?Atau jangan-jangan, kita mulai terbiasa melihat kritik sebagai serangan, bukan masukan?


Di era digital, media sosial menjadi salah satu ruang rakyat untuk mengawasi jalannya kekuasaan. Ketika ruang itu dibatasi, rasa percaya publik ikut tergerus. Di titik ini, demokrasi bukan hanya diuji oleh sistem, tapi oleh karakter manusia yang mengelolanya.


Dari Nepal, kita belajar bahwa demokrasi membutuhkan tiga hal penting:
1. Kejujuran moral pemerintah

2. Keberanian rakyat untuk bersuara

3. Kebijaksanaan untuk berdialog.


Tanpa itu, demokrasi bisa berubah menjadi “panggung kekuasaan” yang indah di luar, tapi penuh luka di dalam. Demokrasi berdarah bukan hanya tragedi Nepal tali bisa juga menjadi cermin bagi siapa saja yang lupa bahwa kekuasaan berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.


Artikel “Belajar dari Nepal: Demokrasi yang Berdarah” bukan sekadar kabar luar negeri. Ia adalah alarm bagi bangsa-bangsa yang sedang mencari keseimbangan antara stabilitas dan kebebasan.Nepal memberi kita pelajaran pahit: ketika negara tidak mau mendengar, rakyat akan berteriak.Dan dalam setiap teriakan itu, demokrasi meneteskan darahnya sendiri.


© 2025 Diva Jauza Az-Zahra. Blog ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi untuk kepentingan tugas individu menanggapi artikel dosen pengampu Pendidikan Pancasila, dengan dukungan AI sebagai alat bantu penulisan. Dilarang menyalin tanpa izin.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |