REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Panny Agustia Rahayuningsih, Staf Perpustakaan UBSI Kampus Pontianak
Bayangkan Anda seorang mahasiswa. Tugas akademik menumpuk, sementara tenggat waktu terus menghantui. Di tengah tekanan tersebut, ponsel terus bergetar setiap beberapa detik, menampilkan notifikasi dari TikTok, WhatsApp, hingga video reels yang menyuguhkan berbagai tren baru. Lalu datang seorang dosen, dengan senyum hangat, berkata, “Silakan baca buku ini, hanya 400 halaman, bisa diselesaikan dalam dua hari.”
Di sinilah tantangan dimulai. Generasi Z, yang tumbuh bersamaan dengan kehadiran teknologi seperti iPhone dan platform YouTube, bukanlah generasi yang kurang cerdas. Mereka justru dikenal cepat, tanggap, dan mampu melakukan banyak hal secara bersamaan (multitasking).
Namun, ketika diminta duduk diam selama berjam-jam untuk membaca buku cetak dengan bahasa akademik yang berat, dan font Times New Roman ukuran 11, banyak dari mereka merasa hal tersebut seperti tantangan mendaki bukit tanpa perlengkapan yang memadai.
Bukan berarti mereka enggan membaca. Hanya saja, pendekatan yang digunakan perlu disesuaikan dengan karakter dan kebiasaan mereka. Menyadari hal ini, Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI) Kampus Pontianak memilih untuk tidak memaksakan, melainkan menyesuaikan strategi dengan ritme dan kebutuhan mahasiswa masa kini.
Para dosen di UBSI Kampus Pontianak menyadari bahwa jika budaya membaca ingin kembali hidup, maka perpustakaan tidak bisa hanya menjadi tempat singgah saat mahasiswa mencari tempat yang tenang atau ber-AC. Perpustakaan harus menjadi ruang yang hidup, tempat tumbuhnya gagasan, bukan sekadar gudang buku berdebu.
Oleh karena itu, dilakukanlah berbagai inovasi. Buku fisik tetap tersedia, namun mulai dilengkapi dengan e-book, jurnal ilmiah daring, dan akses ke berbagai basis data akademik yang dapat diakses melalui perangkat pribadi. Jaringan internet yang cepat disediakan, ruang baca dirancang lebih estetis dan nyaman, serta layanan peminjaman digital disiapkan agar mahasiswa dapat membaca di berbagai tempat, baik di kamar, kafe, maupun saat mengantre makanan.
Lebih jauh lagi, UBSI Kampus Pontianak juga memberikan pelatihan literasi informasi. Mahasiswa diajarkan cara mencari referensi yang valid, membuat kutipan yang tepat, menyusun daftar pustaka, serta membedakan antara jurnal ilmiah dan opini pribadi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Tujuannya adalah agar mereka tidak tersesat di tengah arus informasi yang semakin deras.
Di era digital saat ini, pertanyaan yang perlu diajukan bukanlah “Mengapa mahasiswa malas membaca?”, melainkan “Apakah kita telah memberikan cukup alasan bagi mereka untuk tertarik membaca?”
UBSI Kampus Pontianak menjawab pertanyaan tersebut dengan tindakan nyata. UBSI percaya mahasiswa akan terdorong untuk membaca apabila mereka memahami manfaatnya. Tidak hanya untuk menyelesaikan tugas kuliah, tetapi juga untuk menghadapi tantangan dunia kerja, berpikir kritis, serta mencegah diri dari terjebak informasi palsu atau hoaks.
Gen Z bukan generasi yang tidak mampu. Mereka hanya perlu diajak berdialog, bukan diajari secara sepihak. Mereka membutuhkan relevansi, bukan hanya tumpukan bacaan yang disebut penting tanpa dijelaskan maknanya.
Budaya membaca, layaknya otot, membutuhkan latihan agar menjadi kuat. Dengan pendekatan yang sesuai, kebiasaan membaca akan berkembang menjadi kekuatan berpikir, kemampuan menyampaikan pendapat secara tegas, dan daya tahan menghadapi tantangan hidup. Melalui langkah-langkah praktis yang diambil, UBSI Kampus Pontianak telah memulai proses pelatihan tersebut. Perlahan namun pasti.
Jadi, apabila Anda seorang mahasiswa dan merasa enggan membaca, mungkin bukan sepenuhnya kesalahan Anda. Bisa jadi, sistemnya belum berhasil mengajak Anda dengan pendekatan yang tepat. Namun kini, alasan tersebut mulai tidak relevan, karena akses telah dipermudah, manfaat telah disosialisasikan, dan lingkungan sudah mulai dirancang untuk mendukung proses berpikir.