REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan empat orang hakim sebagai tersangka dalam kasus suap dan gratifikasi dalam putusan terhadap terdakwa korporasi kasus korupsi pemberian izin ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO). Satu di antaranya adalah Djuyamto (DJU), seorang hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Politisi PDIP Guntur Romli mengatakan, Djuyamto merupakan hakim yang menolak praperadilan Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto. Menurut dia, kasus Djuyamto menjadi bukti sangat sulit memperoleh keadilan melalui proses pengadilan karena majelis hakimnya tidak memiliki integritas.
"Putusan Djuyamto terhadap permohonan Hasto jelas merugikan dan janggal karena berdasarkan fakta-fakta hukum dan keterangan saksi dan ahli, harusnya permohonan Hasto diterima," kata dia melalui keterangannya kepada Republika, Senin (14/4/2025).
Ia menduga, terdapat dugaan intervensi seorang hakim Mahkamah Agung (MA) berinisial Y. Alhasil, Djuyamto mengubah putusan menjadi tidak diterima.
Guntur mengaku cemas melihat integritas hakim dan pengadilan melalui kasus Djuyamto ini. Apalagi saat ini Hasto sedang menghadapi proses pengadilan dengan kasus yang dipaksakan dan tuduhan yang didaur-ulang.
"Mas Hasto bukan pejabat publik/negara dan tidak ada kerugiaan negara dalam kasus ini serta jumlah uang yang dituduhkan oleh KPK sejumlah 600 juta dalam perkara ini jauh di bawah suap yang diterima Djuyamto dan aturan bahwa KPK harusnya mengurusi perkara di atas Rp 1 miliar, serta uang itu pun dari Harun Masiku bukan dari Mas Hasto," kata dia.
Karena itu, menurut dia, Hasto merupakan tahanan politik. Kasus yang menjeratnya merupakan bentuk nyata dari kriminalisasi dan politisasi kasus yang sudah direkayasa sebagai balas dendam politik.
"Apalagi hakim MA berinisial Y itu masih bebas berkeliaran yang dikhawatirkan akan melalukan intervensi kembali pada kasus pengadilan Mas Hasto yang sedang berlangsung ini," kata dia.
Diketahui, Djuyamto ditangkap Kejagung dan ditetapkan tersangka menerima suap karena memberikan vonis onslag (lepas) dalam perkara korupsi ekspor CPO. Dalam persidangan itu Djuyamto bertindak sebagai ketua majelis hakim. Djuyamto terbukti menerima aliran dana suap untuk pengurusan perkara, yang angkanya mencapai Rp 7,5 miliar.
Sementara itu, Juru Bicara MA, Yanto, mengakui bahwa Djuyamto merupakan hakim yang menangani praperadilan Hasto. Namun, ia enggan memberikan keterangan lebih lanjut.
"Kalau yang jawab saya nggak objektif. Anda tanya aja sama Pak Djuyamto itu, benar nggak ada intervensi? Tanya aja yang mengadili," kata dia saat dikonfirmasi wartawan, Senin.