REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah telah mengumumkan kenaikan produksi dan stok beras nasional. Namun, di lapangan, harga beras masih mengalami kenaikan yang melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET). Pengamat Pertanian Khudori menilai pemerintah terlambat melakukan intervensi meski sinyal kenaikan harga sudah muncul sejak awal tahun.
“Tugas pemerintah bukan sekadar menjamin ketersediaan stok. Negara juga wajib menjaga agar harga di tingkat konsumen tidak melampaui HET,” ujar Khudori kepada Republika.co.id, Selasa (15/7/2025).
Ia menjelaskan, filosofi keberadaan stok nasional adalah untuk menjaga daya beli masyarakat saat harga naik, melalui intervensi pasar. Menurutnya, fokus pemerintah selama ini lebih banyak pada penyerapan beras ketimbang stabilisasi harga.
Khudori mengapresiasi langkah Badan Pangan Nasional (Bapanas) dan Perum Bulog yang mulai menyalurkan bantuan pangan (banpang) kepada 18,27 juta keluarga penerima bantuan (KPB), masing-masing sebesar 20 kilogram. Selain itu, program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) juga didorong dengan alokasi 1,3 juta ton beras untuk Juli–Desember 2025, menyasar wilayah disparitas harga tinggi seperti Papua, Maluku, dan Sulawesi.
Namun, menurut Khudori, langkah tersebut sudah terlambat. “Alarm harga beras melampaui HET sudah berbunyi lama. Beras medium bahkan sudah tahunan dijual di atas HET,” ujarnya.
Ia mengungkapkan, ketidakseimbangan kebijakan pemerintah juga terjadi sejak awal tahun. Dalam Rapat Koordinasi bersama Presiden pada akhir 2024, pemerintah memutuskan penyaluran banpang dan SPHP selama Januari–Februari 2025. Namun, implementasi di lapangan tidak maksimal. “Bantuan pangan belum sempat disalurkan saat itu, dan SPHP dihentikan awal Februari,” jelasnya.
Situasi ini diperparah oleh penumpukan stok beras Bulog hingga mencapai rekor tertinggi 3 juta ton. Namun, harga di pasar tetap melambung. “Buat apa stok besar kalau harga melampaui HET dan masyarakat kesulitan membeli beras terjangkau,” kata Khudori.
Ia menjelaskan, surplus beras Januari–Juni 2025 mencapai 3,2 juta ton dari total produksi 18,76 juta ton. Sebagian besar diserap Bulog, menyisakan sedikit stok bagi penggilingan dan pedagang. Akibatnya, pasokan di pasar terbatas, dan harga gabah melonjak. “Kalau harga bahan baku tinggi, otomatis beras dijual di atas HET,” ujarnya.
Menurut Khudori, penetrasi SPHP masih belum merata. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan Bulog, yang memiliki jangkauan terbatas. Ia juga mendorong pemerintah menyesuaikan HET seiring kenaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah.
“Selama 2023 dan 2024, HPP gabah naik dan HET ikut disesuaikan. Namun pada 2025, HPP naik tanpa diikuti penyesuaian HET. Ini menciptakan ketidakseimbangan insentif di industri perberasan,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Utama Perum Bulog, Ahmad Rizal Ramdhani, memastikan pemerintah memperketat mekanisme distribusi beras SPHP. Seluruh penyalur wajib mendaftar di aplikasi Klik SPHP dan menandatangani surat pernyataan kepatuhan terhadap petunjuk teknis (juknis).
“Kios yang melanggar akan diproses hukum sesuai UU Pangan, dengan ancaman denda maksimal Rp 2 miliar atau hukuman 4 tahun penjara,” ujar Rizal.
Ia menambahkan, pembatasan jumlah transaksi maksimal dua ton per outlet juga diterapkan. “Kalau stok masih ada, tidak boleh pesan lagi. Harus tinggal 10 persen baru bisa mengajukan kembali,” katanya.
Per 15 Juli 2025, realisasi penyaluran SPHP telah mencapai 214.025 kilogram. Penyaluran difokuskan di wilayah barometer inflasi dan non-sentra produksi. Harga SPHP dijaga sesuai HET zonasi: Zona 1 sebesar Rp 12.500 per kg, Zona 2 sebesar Rp 13.100 per kg, dan Zona 3 sebesar Rp 13.500 per kg.