Tentara Israel berjalan di depan warga Palestina yang mengungsi akibat operasi militer Israel dari kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat, Kamis, 23 Januari 2025.
REPUBLIKA.CO.ID, TEPI BARAT— Seorang penulis Israel mempertanyakan pengiriman putrinya, seorang perwira yang sedang mengikuti pelatihan, dalam sebuah misi untuk menjaga permukiman di daerah Hebron, Tepi Barat.
Dirinya khawatir karena kemampuan putrinya untuk menangkis ancaman apapun sama saja apakah dia membawa senapan atau sapu. Putrinya terlalu lemah.
Dalam sebuah artikel di surat kabar Israel, Haaretz, penulis Moran Michel, seorang mantan perwira, menambahkan, putrinya seharusnya menjadi perwira yang ditugaskan untuk posisi administratif.
Tetapi dia dikirim untuk menjaga permukiman di Tepi Barat seperti semua perwira yang ditugaskan, tanpa pelatihan yang memadai, pengetahuan tentang wilayah tersebut, pemahaman tentang ancaman, dan tanpa memiliki pengalaman lapangan.
Hal ini telah berlangsung selama 20 tahun, katanya, “Karena anak-anak kami digerakkan seperti bidak-bidak catur di wilayah yang disebut tentara sebagai wilayah Yudea dan Samaria: Yudea dan Samaria."
Dia mengatakan dirinya bertanya kepada para perwira reguler dan cadangan terkemuka tentang masalah ini. Apa jawabannya? Mereka semua menegaskan bahwa para perwira yang sedang berlatih tidak memiliki misi nyata di sana.
Lebih buruk lagi, tambahnya, para pemukim ekstremis menyerang warga Palestina setiap hari, tetapi tidak ada yang bertindak sampai para pemukim melakukan kesalahan dan menyerang unit cadangan.
"Mengapa tentara yang tidak terlatih ditugaskan untuk menjaga pemukiman yang seluruh penghuninya bersenjata?" tanyanya.
Apakah keputusan tersebut bersifat politis, dan apakah itu bagian dari kebijakan untuk mengukuhkan hubungan antara Zionisme dan permukiman, atau apakah itu terkait dengan penolakan para menteri sayap kanan seperti Bezalel Smotrich untuk menghadapi kekerasan para pemukim Yahudi?