Kasus Beras Oplosan Bisa Jadi Puncak Gunung Es Masalah Tata Niaga Pangan

8 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, menyebut pengungkapan kasus beras oplosan yang terjadi belakangan ini bisa menjadi puncak gunung es dari persoalan yang lebih dalam dalam tata niaga pangan nasional. Menurut Said, praktik pengoplosan beras sebenarnya bukan hal baru dan kerap terjadi dalam skala kecil.

Menurutnya, jika kasus yang kini mencuat benar-benar terbukti, hal ini menunjukkan adanya celah serius dalam kebijakan yang berlaku. “Kalau ini terbukti, berarti ada sisi lemah juga dari kebijakan dan aturan yang ada, sehingga para pelaku kecurangan itu memanfaatkan,” kata Said kepada Republika saat dihubungi, Rabu (16/7/2025) malam.

Ia juga mengatakan, praktik pengoplosan kemungkinan dilakukan untuk menjaga volume dan margin keuntungan di tengah kondisi harga gabah yang tinggi dan ketersediaan pasokan yang terbatas. Ia menduga, sebagian pedagang terpaksa mencampur beras berkualitas rendah untuk tetap bisa bersaing di pasar, terutama karena harga jual beras diatur melalui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang belum menyesuaikan dinamika di lapangan.

“Marginnya makin (tinggi), mungkin tindakan yang dilakukan mengurangi timbangan kemudian mencampur dengan kualitas yang lebih rendah. Karena hal-hal itu, para pengusaha juga tetap berpikir untuk cari untung,” jelasnya.

Lebih lanjut, Said menyoroti dampak kebijakan pembelian gabah oleh Bulog tanpa membedakan kualitas. Hal ini membuat arus gabah ke Bulog semakin deras karena mitra dan petani cenderung menjual ke lembaga pemerintah, bukan ke penggilingan swasta. Alhasil, persaingan di pasar gabah makin ketat dan membuat pedagang swasta kesulitan mendapatkan pasokan dengan harga yang masuk akal sesuai mekanisme permintaan dan ketersediaan.

“Kemungkinan pedagang jadi sulit dapat beras, kecuali dia menaikkan harga beli gabahnya. Nah, artinya kalau naikin harga gabah, berarti naik juga biaya produksinya,” katanya.

Menurut Said, berdasarkan perhitungan yang pernah dilakukan bersama jaringan petani, harga gabah Rp 6.500 per kilogram sejatinya hanya cukup untuk impas—dan itu pun dua tahun lalu. Dengan kondisi saat ini, di mana harga-harga komponen produksi seperti tenaga kerja, pestisida, serta pupuk nonsubsidi mengalami kenaikan, angka tersebut dinilai sudah tidak relevan lagi.

“Kalau petani nggak dapat pupuk subsidi, mereka terpaksa beli yang nonsubsidi, dan itu mahal sekali. Jadi Rp 6.500 itu kurang masuk akal,” katanya.

Ia juga memperkirakan bahwa pada musim tanam kedua—sekitar Juli hingga September—harga gabah secara alami akan naik di atas Rp 6.500. Hal ini disebabkan oleh turunnya produktivitas, yang biasanya menyusut 15–20 persen dibanding musim panen utama.

“Dalam kondisi normal saja, harga di musim kedua sudah lebih tinggi. Jadi seharusnya tidak perlu ada patokan harga Rp 6.500, karena kenyataannya di lapangan pasti di atas itu,” tegasnya.

Di sisi lain, Said menekankan kebutuhan untuk mencapai swasembada pangan adalah hal yang tak terelakkan demi kepentingan nasional. Ketergantungan pada impor menurutnya berisiko tinggi karena bergantung pada faktor eksternal yang tidak selalu bisa dikendalikan.

“Kalau kita terus-menerus mengandalkan impor, itu pertaruhannya bukan cuma soal nasib petani, tapi juga soal kedaulatan bangsa,” katanya.

“Nah, kalau menurut saya, diatur mekanisme tata niaganya lebih baik, supaya sama-sama bisa hidup,” katanya menambahkan.

sumber : Antara

Read Entire Article
Food |