KEHATI: Pertumbuhan Ekonomi Sisakan Jejak Eksploitasi Alam

2 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama setengah abad terakhir tidak datang tanpa harga. Di balik pencapaian pembangunan, jejak eksploitasi alam kian nyata dan mengancam masa depan.

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) mencatat 75 persen bencana di Indonesia disebabkan bencana hidrometeorologi. Para ilmuwan menegaskan perubahan iklim telah meningkatkan frekuensi dan intensitas bencana serupa di seluruh dunia.

Catatan tersebut terangkum dalam Buku Putih Advokasi Keanekaragaman Hayati Indonesia berjudul Melawan Ketidakseimbangan. Buku ini merekam perjalanan panjang advokasi masyarakat sipil dalam memperjuangkan kebijakan lingkungan yang lebih adil dan lestari.

Direktur Eksekutif KEHATI, Riki Frindos, mengingatkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa dilepaskan dari praktik pemanfaatan alam yang berlebihan. “Di balik kemajuan ekonomi, ada jejak pemanfaatan alam yang eksploitatif dan berlebihan, dan kita semua menjadi penggerak utamanya. Indonesia juga menjadi salah satu negara yang tak luput dari jejak eksploitatif tersebut,” ujar Riki, dikutip pada Rabu (17/9/2025).

Dalam 50 tahun terakhir, gas rumah kaca menumpuk di atmosfer dan memicu iklim ekstrem yang memperparah bencana alam. Laporan IPCC 2023 mencatat suhu rata-rata global pada 2011–2020 sudah 1,1 derajat Celsius lebih tinggi dari era pra-industri. Di Indonesia, kenaikan suhu dalam dua dekade terakhir bahkan mencapai 0,9 derajat Celsius, lebih tinggi dari rata-rata global.

Dampak iklim terasa nyata. KEHATI mencatat bencana hidrometeorologi menyumbang 60 persen kerugian ekonomi di Indonesia. Bank Dunia pada 2021 menempatkan Indonesia di posisi kelima dunia dengan jumlah penduduk pesisir yang paling terancam kenaikan muka air laut. Sekitar 95 persen wilayah pesisir Jakarta diperkirakan berpotensi tenggelam pada 2050.

Ancaman lain datang dari hutan. Dalam empat dekade terakhir, Indonesia kehilangan sekitar 33 juta hektare hutan atau hampir 30 persen dari total kawasan hutan. Kini, hutan primer hanya tersisa 47,2 juta hektare. Penyebab utamanya adalah konversi lahan untuk perkebunan sawit, hutan tanaman industri, pertambangan, serta pembangunan infrastruktur.

Manajer Kebijakan Lingkungan KEHATI sekaligus penulis buku, Muhamad Burhanudin, menilai kerusakan ekologi bukan hanya akibat kelalaian, melainkan juga desain politik pembangunan.

“Kebijakan dibuat minim partisipasi publik, lebih didorong kepentingan oligarki dan korporasi, serta minim akuntabilitas. Pembangunan berkelanjutan dan transisi hijau sering menjadi tagline, tapi perlu komitmen keberlanjutan realisasi,” katanya.

Buku putih ini juga menyoroti tantangan gerakan advokasi lingkungan, mulai dari keterbatasan sumber daya, lemahnya koordinasi, hingga ketergantungan pada pendanaan donor asing. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat sepanjang 2019–2024, sekitar 2,57 juta hektare wilayah adat dirampas, kerap disertai kriminalisasi.

Meski penuh tantangan, perlawanan masyarakat sipil terus menguat. Sejak 2014, KEHATI menggagas Biodiversity Warriors, komunitas anak muda yang kini beranggotakan lebih dari 7.000 orang di seluruh Indonesia. Di sektor keuangan, KEHATI meluncurkan Indeks SRI-KEHATI pada 2009 untuk mendorong investasi berkelanjutan.

Burhanudin menegaskan advokasi tetap harus menjadi instrumen utama untuk melindungi ekologi dan masyarakat. Namun, risikonya tidak kecil. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat 1.131 orang menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi karena membela lingkungan sepanjang 2014–2024.

“Advokasi adalah jalan panjang untuk melawan ketidakseimbangan. Alam, masyarakat adat, dan generasi masa depan membutuhkan suara kita. Semua pihak harus bergandengan tangan memastikan bumi tetap lestari, adil, dan layak huni,” ujar Burhanudin.

Read Entire Article
Food |