Kelindan Israel dan AS di Perang Sudara Sudan

REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Perang saudara di Sudan mencapai titik didih baru dengan pengambilalihan kota el-Fasher oleh kelompok Rapid Support Forse (RSF) yang memukul mundur militer Sudan (SAF). Bagaimana konflik yang berjalan lebih dua tahun dan mengorbankan seratus ribu lebih warga Sudan itu bermula?

Sudan, negara di bagian utara Afrika, sejak lama jadi lokasi konflik berkepanjangan. Konflik biasanya berpusat di wilayah perbatasan dengan Sudan Selatan yang akhirnya memisahkan diri pada 2011 lalu. Namun, terkait konflik terkini, ada dinamika yang tak lepas dari kepentingan Amerika Serikat dan Israel.

Singkatnya, kengototan Israel dan AS untuk mengkonsolidasikan posisi Khartoum dalam Perjanjian Abraham telah memperkuat otoritarianisme militeristik di negara tersebut. Dua jenderal yang memimpin konflik berdarah-darah di Sudan saat ini adalah dua pihak yang sama-sama mendukung normalisasi dengan Israel, sikap yang bertentangan dengan kehendak publik Sudan.

Rangkaian konflik terkini bermula pada penggulingan Presiden Omar al-Bashir pada 2019. Selama beberapa dekade, pemerintahan Bashir dengan keras menentang kontak apa pun dengan Israel. Hal ini kiranya yang jadi satu dari sedikit kesamaan sikanya dengan rakyat Sudan.

Selepas jatuhnya Omar al-Bashir, isu normalisasi hubungan Israel dan Sudan langsung mencuat. The Times of Israel menuliskan, pengakuan akan memungkinkan Sudan untuk memperoleh keuntungan ekonomi dengan dikeluarkannya dari daftar negara sponsor teror oleh AS. “Amerika meyakinkan mereka bahwa jalan menuju Washington melalui Yerusalem,” kata Haim Koren, mantan utusan Israel untuk Mesir dan Sudan Selatan.

Dalam hal itu, pihak militer di Sudan melihat manfaat yang jelas dari normalisasi dan berupaya memperdalam kontak dengan Israel, sementara pemerintah sipil yang menggantikan Omar al-Bashir berupaya mengerem proses tersebut. 

Dan bahkan ketika para pemimpin militer menyambut gagasan membangun hubungan sebagai jalan keluar dari status paria Khartoum, pihak sipil dalam pemerintah dan sebagian besar masyarakat Sudan terus memandang normalisasi dengan hati-hati.

“Bukan rahasia lagi bahwa pihak yang mendorong normalisasi adalah kepemimpinan militer dan bukan kepemimpinan sipil,” kata Rina Bassist, editor Afrika di lembaga penyiaran publik KAN Israel.

Pada Februari 2020, Ketua Dewan Kedaulatan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan diam-diam bertemu dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Uganda, tanpa memberi tahu rekan-rekan sipilnya. 

Ketika berita mengenai pertemuan tersebut dipublikasikan, Perdana Menteri Abdalla Hamdok tidak mengakui bahwa ia mengetahui perjalanan Burhan. 

Pada November tahun itu, delegasi militer Israel mengunjungi komandan Sudan, sebulan setelah AS mengumumkan rencana Khartoum untuk bergabung dengan Abraham Accords. Pemerintah sipil, yang tampaknya juga tidak mengetahui adanya kunjungan tersebut, pada awalnya menyangkal hal tersebut terjadi sebelum akhirnya mengkonfirmasi hal tersebut.

Pejabat keamanan terus bertemu dengan warga Israel tahun 2020 tersebut. Awal Oktober 2021, delegasi pejabat keamanan Sudan melakukan perjalanan rahasia ke Israel untuk membahas hubungan bilateral, jaringan Al Arabiya milik Saudi melaporkan. 

Media berbahasa Ibrani juga mengutip laporan berbahasa Arab yang tidak disebutkan secara spesifik yang mengatakan bahwa delegasi tersebut dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo, komandan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter yang kuat, dan juga termasuk kepala pabrik pertahanan yang dikelola negara Sudan.