Kisah Keberhasilan Orang Tua Mendidik Anak, Tumbuhkan Kecintaan pada Tahajud

1 week ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alim ulama dari generasi terdahulu (salaf) memiliki pola dalam mendidik putra-putri mereka agar gemar shalat malam. Hebatnya lagi, tidak sedikit di antara mereka yang memiliki buah hati dengan semangat tinggi dalam beribadah. Anak-anak itu justru yang ingin lebih mengenal dan menjalani shalat sunah tersebut.

Sebagai contoh, kisah yang disampaikan Syekh Ibnu Zhafar al-Makki berikut ini. Ulama tersebut menuturkan cerita masa kecil Abu Yazid Thaifur, yakni tatkala putra Isa al-Busthami itu menghafalkan Alquran. Malam itu, bocah lelaki ini sampai pada ayat pertama dan kedua dari surah al-Muzzammil. Artinya, “Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil.”

Maka Abu Yazid Thaifur kecil lekas bertanya kepada bapaknya, “Wahai Ayah! Siapakah orang yang dimaksud Allah Ta’ala dalam ayat ini?”

“Wahai Ananda, yang dimaksud di sini adalah Nabi Muhammad SAW,” jawab sang ayah.

Ternyata, jawaban itu kurang memuaskan hatinya. Maka Thaifur kembali mengajukan pertanyaan, “Wahai Ayah, mengapa engkau tidak melakukan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?”

Mendengar itu, Isa al-Busthami sempat terkejut. Ia pun menjelaskan bahwa shalat malam dalam konteks itu adalah ibadah yang khusus bagi Nabi SAW saja. “Tidak diwajibkan bagi umat beliau,” katanya.

Percakapan berhenti sejenak. Maka anak itu kembali meneruskan bacaan tahfiznya. Hingga sampailah ia pada ayat ke-20 dari surah tersebut. Artinya, “Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersamamu.”

Makna ayat itu lagi-lagi membangkitkan rasa penasaran Thaifur. Ia pun bertanya kepada bapaknya, “Wahai Ayah, saya mendengar bahwa segolongan orang melakukan shalat malam. Lantas, siapakah golongan yang dimaksud dalam ayat ini?”

“Wahai putraku,” sahut al-Busthami, “mereka adalah para sahabat Nabi SAW.”

“Kemudian, apa sisi baiknya kalau meninggalkan sesuatu yang dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat beliau?”

Ulama tersebut terkesima dengan penalaran putranya. Untuk sesaat, ia tercenung. “Kamu benar, wahai anakku,” ucapnya.

Segera setelah itu, al-Busthami mulai rutin melaksanakan shalat malam. Beberapa hari kemudian, Thaifur tanpa sengaja mendapati ayahnya sedang rukuk dan sujud dalam shalat. Sementara, waktu sudah memasuki sepertiga malam.

Usai ayahnya shalat, ia pun berjalan mendekat.

“Wahai Ayah, ajarilah aku caranya berwudhu dan shalat bersamamu?” pintanya.

“Wahai putraku, kembalilah tidur. Tidak perlu kamu shalat malam karena usiamu masih anak-anak,” kata al-Busthami kepada ananda tercinta.

“Wahai Ayah, aku ingat guru pernah cerita tentang Hari Kebangkitan. Hari itu, semua manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan digiring ke dalam kelompok-kelompok. Kepada mereka, ditunjukkan balasan setiap perbuatannya. Bagaimana bila saat itu aku berkata kepada Tuhan, ‘Sungguh, aku telah bertanya kepada Ayah tentang bagaimana cara wudhu dan shalat, tetapi beliau enggan menjelaskannya.’”

Mendengar penuturan anaknya itu, ulama ini kembali merenung sesaat. Maka al-Busthami membolehkan putranya untuk ikut membersamainya, mendirikan qiyam al-lail. “Demi Allah, kamu benar, wahai anakku,” katanya. Lalu, bapak dan anak itu pun shalat malam bersama-sama.

Read Entire Article
Food |