REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) memaparkan sejumlah tantangan dalam penanganan kasus kekerasan berbasis gender (KBG). Khususnya pada korban perempuan.
Dalam pertemuan daring bertajuk Soft Launching Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan, Senin (15/12/2025), Anggota Komisi Paripurna sekaligus Peneliti Komnas Perempuan Chatarina Pancer mengatakan pihaknya menyimpulkan sejumlah tantangan tersebut berdasarkan pengembangan bentuk dan pola kekerasan terhadap perempuan yang dituangkan dalam Peta Kekerasan Pengalaman Perempuan.
Pada penanganan kasus KBG terhadap istri, misalnya, ia menyebutkan perubahan normal yang tidak sistematis dan seragam masih menjadi tantangan. Alasannya masih ada aturan daerah yang restriktif (membatasi) terhadap perempuan sebagai korban yang melapor.
Tantangan berikutnya ialah masih tingginya fenomena delay in justice. Sehingga pemberian keadilan restorasi (restorative justice) bagi pelaku pada kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Bahkan, lanjutnya, para korban pada kasus KBG terhadap istri kerap kali mendapatkan kesulitan ketika meminta hak restitusi karena proses yang rumit serta ketersediaan layanan yang masih terkonsentrasi di perkotaan.
Sementara tantangan pada kasus KBG terhadap pacar dan serupa pacar, salah satunya ialah persepsi publik yang lebih buruk terhadap perempuan dalam relasi pacaran dan kohabitasi karena dinilai sebagai bagian dari pergaulan bebas, tidak mendapat pengawasan orang tua, dan labelisasi sebagai perempuan yang tidak bisa diatur. Selain itu, tantangan lainnya pada penanganan kasus KBG terhadap pacar dan serupa pacar ialah keterlibatan undang-undang pornografi untuk mengintervensi pelaku, namun pada kasus lain justru menjadi kebijakan yang diskriminatif bagi perempuan sebagai korban.
“Kemudian KUHP cenderung tidak memadai bagi perempuan korban ingkar janji. Jadi kalau diingkari janji, payung hukumnya juga di KUHP belum memadai. Ini ada lagi Undang-Undang Pornografi, mesti di satu kasus digunakan untuk intervensi pelaku, namun di kasus lain malah menjadi kebijakan diskriminatif untuk korban. Jadi misalnya dianggap dia juga buruk karena memproduksi konten yang asusila,” ujar Chatarina.

4 days ago
2


































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)









