MBG: Solusi atau Sekadar Melunasi Janji?

3 hours ago 3

Image Nikmah Ridha Batubara, M.Si

Info Terkini | 2025-09-13 10:23:31

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) masih terus menjadi pembicaraan yang hangat di tengah masyarakat. Evaluasi terhadap program ini masih terus dilakukan untuk memberikan pelayanan yang terbaik bagi anak bangsa. MBG memiliki tujuan untuk mengatasi permasalahan stunting yang banyak terjadi pada anak-anak di Indonesia. Maka, program ini diharapkan mampu menjadi solusi cepat dan tepat untuk mengatasi masalah tersebut.

Namun ekspektasi tak sesuai dengan kenyataan. Beberapa kasus mulai muncul sejak dimulainya program ini di awal tahun 2025. Ditemukan 17 kasus keracunan dan 8 kasus non-keracunan terkait dengan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) di 10 provinsi hingga 20 Mei 2025 yang berhasil dicatat oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) (Kompas.com - 21/05/2025). Kasus keracunan MBG yang terbaru, terjadi pada Selasa (2/9/2025), di SMPN 1 Kramatwatu, Kabupaten Serang, Bantan. Sebanyak 27 siswa di sekolah itu diduga keracunan usai menyantap makanan MBG. Sehari setelahnya pada Rabu (3/9/2025), kasus yang sama menimpa siswa di MTs Islamiyah, Kelurahan Sayang, Kecamatan Cianjur, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Sembilan siswa diduga mengalami keracunan setelah menikmati makanan MBG. Di wilayah lain ditemukan adanya makanan yang sudah tidak layak konsumsi. Di beberapa sekolah, terdapat laporan yang menyebutkan adanya sayur berbelatung hingga berambut, lauk telur yang sudah basi, ditemukannya telur lalat pada lauk ayam, dan ada pula nasi bercampur plastik dan semut (TribunBatam.id, 09/09/2025).

Program MBG merupakan program andalan pada periode pemerintahan ini. Bahkan anggaran untuk program ini tak main-main. Badan Gizi Nasional (BGN) akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,2 triliun per hari untuk program makan bergizi gratis kepada 82,9 juta orang di seluruh Indonesia untuk tahun depan (detik.com 08/09/2025). Sungguh angka yang fantastis untuk sekadar makan siang, yang terkadang malah dibuang karena tak layak untuk dimakan. Walaupun dengan adanya kasus-kasus tersebut, program ini masih dikatakan berhasil 99,99% oleh pemerintah, seolah anak-anak yang terkena dampak buruknya hanyalah angka statistik yang tak ada artinya. Data statistik memang terlihat manis, tapi publik juga dapat melihat dan merasakan fakta di lapangan yang jauh dari harapan. Alih-alih untuk perbaikan gizi, malah resiko keracunan makanan yang terjadi.

Berdasarkan penilaian keberhasilan program ini, tercium aroma kapitalistik yang sangat menyengat. Bayangkan saja, di tengah berjatuhannya korban akibat keracunan makanan, masih bisa dikatakan berhasil karena dianggap telah membuka lapangan pekerjaan, menyerap pangan lokal dan lain sebagainya yang hanya dilihat dari pertimbangan ekonomi. Ya begitulah wajah sistem ekonomi kapitalis yang berorientasi pada materi dan keuntungan saja.

Namun, kalau kita kaji lebih dalam, persoalan yang terjadi dalam program MBG ini bukanlah hanya permasalahan teknis yang akan bisa selesai seiring berjalannya waktu dengan penambahan anggaran ataupun pengawasan yang lebih ketat. Ini adalah persoalan paradigma atau cara berpikir mengatasi permasalahan. Maka sepertinya diperlukan pengkajian lebih mendalam, apakah MBG ini memang benar-benar solusi yang menyentuh akar permasalahan atau jangan-jangan hanya sekadar penunaian janji saat kampanye yang penting sudah dilaksanakan?

Pangan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi bagi setiap manusia. Masalah stunting bukan permasalahan di satu titik saja, namun berawal dari masa kehamilan, menyusui dan seterusnya. Pada usia balita, anak membutuhkan asupan gizi yang sempurna untuk menunjang pertumbuhannya yang optimal, dan ini merupakan masa kritis yang apabila gizinya tidak terpenuhi, maka anak beresiko mengalami stunting dan sulit untuk dipulihkan. Jadi, menurut dokter Ita Fajri Tamim, pemberian Makan Bergizi Gratis di usia SD sampai SMA tak bisa secara langsung mengatasi masalah stunting (NU Online, 10/01/2025).

Permasalahan yang dihadapi masyarakat Indonesia adalah kesulitan dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Ditambah lagi kebutuhan lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, rumah, membayar pajak dan lain sebagainya yang membutuhkan biaya cukup besar. Hal ini berdampak pada kemampuan masyarakat dalam menyediakan makanan bergizi bagi anggota keluarganya. Bahkan yang lebih parah, masih banyak rakyat Indonesia yang untuk makan sehari saja masih sangat kesulitan. Disini dapat terlihat bahwa negara belum menjalankan perannya sebagai penanggung jawab rakyatnya.

Islam hadir sebagai solusi untuk segala permasalahan ummat yang terjadi sampai akhir zaman, termasuk permasalahan malnutrisi yang mengakibatkan stunting. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Negara menjamin ketersediaan pangan, baik dari segi keamanan dan kualitas gizinya.

Begitu pula dalam proses penyediaan pangan dan kebutuhan lainnya. Islam memiliki prinsip dalam pelaksanaan sistem kekuasaannya. Pertama, sederhana dalam aturan, cepat dalam pelaksanaan, dan dilakukan oleh individu yang berkompeten. Kedua, anggaran mutlak berbasis Baitul maal yang memiliki ciri adil dan transparansi, berlandaskan syariat Islam dan tujuannya adalah kesejahteraan rakyat. Ketiga, petugas pelaksana fungsi negara—dalam hal ini yang terkait pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap pangan dan gizi—wajib dikelola di atas prinsip sosial, bukan bisnis.

Apabila sistem Islam diterapkan dalam segala aspek kehidupan bernegara, maka kita tinggal menikmati kesejahteraan seperti yang pernah terjadi di masa kejayaan khilafah Islamiyah. Sungguh masa itu adalah masa peradaban terindah sepanjang sejarah. Maka sudah selayaknya kita merindukan kembalinya masa kejayaan yang membawa kesejahteraan, keadilan dan kedamaian. Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |