Ayiex Kademangan
Agama | 2025-04-14 14:44:59

By: Sarie Rahman
Sejumlah ulama terkemuka, termasuk Ali al-Qaradaghi, mengeluarkan fatwa langka menyerukan jihad global melawan Israel. Fatwa ini merespons 17 bulan kehancuran di Gaza sebagai genosida terang-terangan. Para ulama mendesak negara-negara Muslim bertindak secara militer, ekonomi, dan politik, serta mengecam keras kelambanan pemerintah Arab dan Islam sebagai bentuk pengkhianatan terhadap rakyat Palestina. (SindoNews, Sabtu 05/04/2025)
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dizalimi. Dan sungguh, Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu. (Yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata: 'Tuhan kami adalah Allah'..." (Qs Al Hajj (22) : 39-40)
Setelah semua upaya umat Islam, dari mulai demonstrasi, boikot, hingga bantuan kemanusiaan gagal menghentikan penderitaan di Gaza, para ulama internasional akhirnya mengambil sikap tegas dan menggelegar yakni menyerukan jihad terbuka. Seruan ini bukan datang dari suara pinggiran, tetapi dari otoritas tertinggi keagamaan yang selama ini menahan diri demi perdamaian. Kini, kesabaran itu dinyatakan cukup. Dunia Islam dipanggil bangkit, karena genosida di Gaza bukan lagi sekadar tragedi kemanusiaan, tapi penghinaan terbuka terhadap umat. Diamnya rezim-rezim Muslim dan tumpulnya solidaritas global dianggap sebagai pengkhianatan, dan jihad dinyatakan sebagai kewajiban nyata yang tak bisa ditunda.
Di Atas Darah Syuhada, Umat Masih Membisu
Di tanah yang disirami darah para syuhada, di bawah langit yang terus bersaksi atas jeritan anak-anak Gaza, dunia Islam masih terdiam dalam kabut kehinaan. Seakan nyawa yang gugur hanya angka, bukan amanah yang memanggil. Seruan jihad telah bergema dari mimbar-mimbar masjid, namun pasukan tak pernah melangkah. Pedang-pedang keadilan tersimpan dalam sarungnya, berkarat oleh ketakutan dan politik kepentingan. Sementara itu, bumi Palestina menanti, bukan sekadar doa atau air mata, tapi barisan yang teratur, kepemimpinan yang bersinar, dan kekuatan yang bersatu demi menegakkan kembali izzah umat yang telah lama terkoyak.
Fatwa, sejatinya hanyalah seruan moral dan spiritual tanpa kekuatan mengikat jika tidak diiringi aksi nyata. Sebuah dekrit, betapapun keras nadanya, tak akan menggoyang tank musuh atau menghentikan bom yang terus meluluhlantakkan Gaza. Ironisnya, kekuatan militer, pasukan, senjata, dan strategi, justru berada di tangan para penguasa Muslim yang selama ini lantang dalam retorika, tapi diam membisu saat dibutuhkan. Mereka berseru, tapi tak mengirim satu pun pasukan. Padahal, jihad defensif telah lama dikobarkan oleh para pejuang di Palestina, yang terus bertahan di bawah komando kelompok bersenjata, meski dengan sumber daya terbatas. Dalam Islam, jihad mempertahankan diri dari penjajahan dan pembantaian adalah kewajiban, bukan pilihan. Lalu sampai kapan dunia Islam hanya menonton dan membiarkan saudara seiman mereka berperang sendirian?
Membebaskan Palestina melalui jihad bukan sekadar urusan semangat dan senjata, tapi menuntut arah, strategi, dan komando tunggal dari seorang pemimpin umat yang mampu menyatukan kekuatan Muslim di seluruh dunia. Tanpa kepemimpinan global yang visioner dan tegas, jihad hanya akan menjadi gerakan sporadis yang mudah dipatahkan. Maka, tugas besar umat Islam hari ini bukan hanya mengutuk dan berorasi, tapi membangun kembali kepemimpinan politik dan spiritual yang bisa menjadi poros perlawanan terhadap penindasan. Inilah panggilan sejarah bagi gerakan-gerakan dakwah, bukan hanya mendidik, tapi memimpin. Bukan hanya menyuarakan kebenaran, tapi menegakkannya dengan kekuatan terorganisir demi membela Gaza dan seluruh bumi Palestina, serta mengembalikan kemuliaan umat pada umumnya.
Bangkitlah, Wahai Umat! Kepemimpinan Itu Menunggu Tekadmu
Di tengah puing-puing peradaban, saat umat tersebar tanpa arah dan penguasa menutup telinga dari jeritan rakyatnya, sebuah cahaya menanti di ujung lorong sejarah kepemimpinan yang sejati, yang mempersatukan, bukan memecah, yang melindungi bukan menggadaikan. Khilafah bukan sekadar impian masa lalu, melainkan panggilan masa depan yang lahir dari tekad kolektif umat yang sadar. Ia menanti bukan di singgasana istana, tapi dalam hati yang jernih dan langkah yang teguh. Saat umat bangkit dengan ilmu, keberanian, dan kesatuan visi, maka tak ada tirani yang tak bisa ditumbangkan, tak ada penjajahan yang tak bisa diakhiri. Kini saatnya bukan hanya mengutuk kegelapan, tapi menyalakan pelita perubahan. Kepemimpinan itu tidak akan datang dari langit tanpa usaha ia menunggu tekadmu.
Kepemimpinan sejati yang disebut sebagai khilafah hanya bisa tegak di atas fondasi dukungan mayoritas umat, bukan melalui paksaan, tapi sebagai hasil dari proses penyadaran ideologis yang mendalam. Kesadaran ini tak lahir seketika, melainkan dibangun melalui perjuangan panjang yang konsisten, dilakukan oleh gerakan Islam yang tulus dan lurus, yang berjuang semata-mata demi tegaknya ajaran Islam, bukan demi kekuasaan atau kepentingan duniawi. Khilafah bukan sekadar simbol politik, melainkan institusi agung yang menyatukan umat, menegakkan keadilan, dan melindungi kaum Muslim di seluruh penjuru dunia. Maka tugas utama gerakan Islam hari ini adalah mengedukasi umat dengan pemahaman yang jernih dan benar, hingga lahir kesadaran kolektif untuk menerima dan memperjuangkan kepemimpinan Islam sebagai solusi hakiki bagi krisis kemanusiaan dan penjajahan yang terus berlangsung.
Umat adalah pemilik sejati kekuasaan. Dalam Islam, kedaulatan ada di tangan syariah, namun kekuatan politik nyata bersumber dari dukungan umat. Jika umat memiliki kesadaran dan kehendak kolektif yang kuat, maka mereka mampu menekan para penguasa untuk menjalankan kehendak Islam, bukan sekadar menjadi boneka kekuasaan asing atau penjaga status quo. Bila penguasa menolak tunduk pada kehendak umat dan memilih jalan yang bertentangan dengan ajaran Islam, maka umat pula yang berhak mencabut kepercayaan itu dan menyerahkannya kepada yang lebih layak. Oleh karena itu, kebangkitan umat bukan sekadar soal jumlah, tapi soal kesadaran dan keberanian untuk menentukan arah. Sebab kekuasaan sejati lahir dari rakyat yang terdidik dan bersatu dalam tujuan yang mulia.
Penegakan khilafah bukan sekadar isu politik atau wacana sejarah, ia menyangkut hidup matinya umat Islam secara keseluruhan. Bukan hanya untuk membebaskan Palestina, tapi untuk menyelesaikan berbagai krisis yang menimpa umat di seluruh dunia, penindasan, penjajahan, ketidakadilan, dan keterpecahan. Karena itu, memperjuangkan khilafah adalah kewajiban kolektif, bukan tugas segelintir orang. Seruan jihad kepada tentara-tentara Muslim terus bergema sebagai bentuk tanggung jawab untuk membela saudara seiman, dan seruan menegakkan khilafah hadir bersamanya sebagai solusi strategis dan menyeluruh. Saat umat bersatu dalam visi ini, maka kekuatan mereka tak lagi bisa diabaikan, dan perubahan besar menjadi sebuah keniscayaan.
Gaza tak butuh gema suara, tapi langkah yang berakar dari iman. Dalam diam yang sabar, umat belajar bahwa kemenangan tak datang dari amarah, tapi dari keyakinan yang dituntun cahaya-Nya. Ya Allah, jadikan setiap luka sebagai panggilan untuk bangkit, dan setiap air mata sebagai saksi bahwa kami tak tinggal diam.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.