REPUBLIKA.CO.ID, YERUSALEM – Pegawai Kementerian Pendidikan Israel didampingi petugas polisi secara paksa memasuki enam sekolah yang berafiliasi dengan UNRWA, badan bantuan PBB untuk Palestina. Mereka mengumumkan rencana penutupan fasilitas tersebut.
Tentara Israel, melalui apa yang disebut “polisi perbatasan”, menggerebek sekolah-sekolah untuk pengungsi Palestina itu di Yerusalem Timur. Abir Ismail, direktur kantor informasi UNRWA, mengecam penggerebekan di lingkungan Shuafat, Silwan, Sur Baher dan Wadi al-Joz di Yerusalem Timur yang diduduki sebagai pelanggaran hukum internasional.
“Prosedur ini merupakan pelanggaran terhadap hak anak-anak pengungsi Palestina untuk menerima pendidikan, dan mengancam hilangnya hak dasar ratusan anak atas pendidikan di negara mereka,” kata Ismail dalam sebuah pernyataan dilansir Aljazirah, Rabu.
“Jika kami terpaksa menutupnya, konsekuensinya akan sangat buruk, karena anak-anak akan kehilangan hak dasar mereka atas pendidikan, yang akan memperburuk penderitaan mereka dan berdampak negatif pada masa depan mereka.”
Tahun ini, Israel melarang UNRWA beroperasi di wilayah yang dicaplok Israel, termasuk di Yerusalem Timur yang diduduki Israel. PBB mengatakan badan tersebut akan terus memberikan layanan di seluruh wilayah Palestina.
Enam sekolah yang diserbu memberikan manfaat bagi sekitar 850 siswa. Mereka diberitahu bahwa sekolah-sekolah tersebut harus ditutup dan para siswa akan diterima di sekolah-sekolah yang disebut sebagai sekolah Kotamadya Yerusalem di Israel.
Koresponden Aljazirah melaporkan bahwa hal ini sangat problematis karena sekolah-sekolah penampung itu tidak memberikan pengajaran dengan kurikulum Palestina. Mereka mengajarkan kurikulum yang dijalankan Israel yang menurut warga Palestina mengabaikan dan menghapus identitas Palestina.
Pemberangusan sekolah-sekolah ini menyusul tindakan Israel melarang operasional UNRWA. Aksi ini dimulai dengan tidak berurusan dengan UNRWA dalam hal memberikan bantuan kemanusiaan di Gaza selama genosida ini. Sekarang, mereka menargetkan Yerusalem Timur yang diduduki serta markas besar dan operasi organisasi tersebut di sana.
Tidak mengizinkan UNRWA beroperasi, tidak mengizinkan pejabat Israel untuk berhubungan dengan UNRWA, juga akan berdampak melumpuhkan 19 kamp pengungsi lainnya di Tepi Barat yang diduduki. Hal ini akan berdampak pada puluhan ribu warga Palestina yang bergantung pada lembaga tersebut.
Lembaga itu tak hanya menyediakan pendidikan tetapi juga layanan kesehatan, serta dukungan psikososial dan bantuan kemanusiaan. Mereka mengurusi lebih dari 40.000 pengungsi Palestina telah mengungsi dari rumah mereka di Jenin dan Tulkarem akibat serangan Israel belakangan.
Kepala UNRWA Philippe Lazzarini mengiyakan bahwa sekitar 800 anak laki-laki dan perempuan terkena dampak langsung dari penutupan enam sekolah di Tepi Barat yang diduduki. Mereka kemungkinan besar tidak dapat menyelesaikan tahun ajaran mereka.
“Sekolah UNRWA dilindungi oleh hak istimewa dan kekebalan PBB,” tulis Philippe Lazzarini dalam postingannya di X. “Masuk tanpa izin dan dikeluarkannya perintah penutupan saat ini merupakan pelanggaran terhadap perlindungan ini dan merupakan pencabutan kewajiban Israel berdasarkan hukum internasional.”
Lazzarini mengatakan organisasinya tetap berkomitmen untuk “tinggal dan memberikan pendidikan dan layanan dasar lainnya” kepada pengungsi Palestina di Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur yang diduduki.
Selama beberapa dekade, Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat telah menjadi penyedia utama layanan kesehatan dan pendidikan bagi jutaan warga Palestina di Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan negara-negara tetangga.
Pada September, sekitar 45.000 anak-anak pengungsi Palestina memulai tahun ajaran mereka di 96 sekolah yang dioperasikan UNRWA di Tepi Barat dan Yerusalem Timur. Badan ini juga mempekerjakan lebih dari 2.200 anggota staf di Tepi Barat.