REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusutan kasus suap gratifikasi dalam pengaturan vonis lepas tiga korporasi terdakwa korupsi izin ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO) 2022 mengungkapkan bagi-bagi uang senilai Rp 60 miliar. Uang sebanyak itu dibagikan untuk hakim-hakim pemeriksa perkara tersebut di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat (PN Tipikor Jakpus).
Pengungkapan yang dilakukan oleh tim penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) sementara ini sudah menetapkan tujuh orang sebagai tersangka. Mereka semua sudah dijebloskan ke sel tahanan.
Empat tersangka di antaranya adalah hakim. Satu tersangka panitera muda. Kelima tersangka dari kalangan peradilan tersebut kapasitasnya sebagai penerima suap dan gratifikasi. Sedangkan dua tersangka lainnya adalah para advokat dari terdakwa-terdakwa korporasi pihak pemberi suap dan gratifikasi.
Lalu dari lima kalangan peradilan, dan para 'wakil Tuhan' itu, siapa yang paling rakus dan dapat paling banyak dari uang haram Rp 60 miliar tersebut? Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan, suap itu berawal dari adanya kesepakatan antara tersangka Ariyanto (AR) alias Ary Bakri.
Dia bersama tersangka Marcella Santoso (MS) adalah pengacara korporasi minyak goreng yang menjadi terdakwa korupsi CPO. Para terdakwa korporasi tersebut adalah Permata Hijau Group, Musim Mas Group, dan Wilmar Group.
Ariyanto bertemu dengan tersangka Wahyu Gunawan. Dia selaku panitera muda perdata PN Jakarta Utara (Jakut). Tersangka Ariyanto meminta tersangka Wahyu untuk mengurus perkara korupsi tiga terdakwa korporasi minyak goreng tersebut.
"Kesepakatan tersebut dengan permintaan dari tersangka AR agar perkara korporasi tersebut diputus onslag, atau lepas," ujar Qohar di Jakarta, Senin (14/4/2025). AR menyiapkan dana Rp 20 miliar untuk Wahyu WG dalam pengurusan perkara tersebut.
Wahyu tak sendirian. Dia menyampaikan kesepakatan itu dengan Ariyanto itu kepada tersangka Muhammad Arif Nuryanta (MAN). Ketika skandal tersebut berlangsung pada 2024, Arif Nuryanta masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Tipikor Jakpus. Saat ditangkap, Arif Nuryanta sudah menjadi Ketua PN Jakarta Selatan (Jaksel).
"Kesapatan AR dengan WG itu disampaikan WG kepada MAN agar perkara korporasi minyak goreng itu diputus onslag," kata Qohar. Arif Nuryanta setuju. Tapi harganya lebih tinggi dari Rp 20 miliar.
Arif Nuryanta menaikkan tarif menjadi Rp 60 miliar. "Muhammad Arif Nuryanta selaku wakil ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat setuju (dengan usulan putusan onslag), namun meminta uang Rp 20 miliar (yang ditawarkan Ariyanto kepada Wahyu) dikalikan tiga. Sehingga totalnya 60 miliar rupiah," ujar Qohar.
Kenaikan tarif kasus dari Arif Nuryanta itu disampaikan Wahyu kepada Ariyanto. "WG menyampaikan permintaan MAN tersebut kepada AR, dan AR diminta WG untuk menyiapkan uang 60 miliar rupiah," ucap Qohar.
Ariyanto pun setuju dengan nominal Rp 60 miliar. Menurut Qohar, beberapa hari setelah persetujuan itu, Ariyanto kembali menemui Wahyu membawa 'amunisi' seperti permintaan Rp 60 miliar dengan mata uang dolar AS.
Berikutnya, Wahyu menerima dan membawa uang tersebut. Lalu, ia membawa uang pemberian Ariyanto itu kepada Arif Nuryanta. Selanjutnya, uang itu diterima Arif Nuryanta. Dan sebagai jasa penerimaan uang, Wahyu diganjar 50 ribu dolar AS.
"Jadi WG, pun dapat bagian 50 ribu USD setelah adanya penyerahan uang tersebut sebagai uang jasa penghubung (dengan Ariyanto)," ujar Qohar. Setelah uang dalam penguasaan Arif Nuryanta, ia mengambil inisiatif menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa perkara para korporasi terdakwa korupsi izin ekspor CPO.
Arif Nuryanta sebagai wakil ketua PN Tipikor Jakspus menunjuk tersangka Hakim Djuyamto (DJU) sebagai ketua majelis. Kemudian menunjuk tersangka Ali Muhtarom (AM), hakim adhoc sebagai anggota majelis, dan tersangka Hakim Agam Syarif Baharuddin (ASB) sebagai anggota majelis dua.
Setelah penunjukkan komposisi majelis hakim tersebut, Arif Nuryanta menerbitkan surat penetapan sidang. Pada saat itu, kata Qohar, Arif Nuryanta meminta hakim Djuyamto dan Agam Syarif menghadap. Keduanya pun berjumpa di ruangan Arif. Dalam pertemuan tersebut, Arif menyerahkan uang Rp 4,5 miliar. Qohar mengungkapkan, uang Rp 4,5 miliar diberikan sebagai biaya baca berkas perkara korporasi yang terjerat dakwaan korupsi ekspor CPO. "Dan MAN menyampaikan kepada ASB, dan DJU agar perkara tersebut diatensi," kata Qohar.
Uang Rp 4,5 miliar yang diserahkan Arif diterima oleh Agam Syarif. Dia membungkus uang haram itu ke dalam kantong. Lalu setelah kelar bicara dengan Arif, bersama-sama Djuyamto dan Agam Syarif membagi uang Rp 4,5 miliar tersebut menjadi tiga bagian. Tersangka hakim Ali Muhtarom turut dapat jatah dari Rp 4,5 miliar untuk uang baca berkas.
Artinya ketiga hakim tersebut mendapatkan jatah uang pertama Rp 1,5 miliar. "Uang tadi (Rp 4,5 miliar) dibagi kepada tiga orang, ASB sendiri, kepada AM yang keduanya sebagai hakim anggota, dan juga kepada DJU sebagai ketua majelis hakim persidangan," ucap Qohar.