Bandung Kota Termacet Atau Ter “Tak Taat Aturan”?

4 hours ago 2

Oleh: Firmansyah, Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemberitaan di Pikiran Rakyat pada 10 Juli kemarin cukup mengejutkan. Pasalnya, Kota Bandung disebutkan menjadi kota termacet di Indonesia dan berada di peringkat 12 kota termacet di dunia berdasarkan survei TomTom Traffic Index 2024.

Dalam isi beritanya menyebutkan, perusahaan teknologi navigasi itu menyebut rata-rata waktu tempuh perjalanan sejauh 10 kilometer di Kota Bandung ialah 33 menit, menjadikan Bandung sebagai kota termacet.

Wali Kota Bandung Muhammad Farhan menegaskan, hasil survei tersebut dengan menyatakan kemacetan menjadi salah satu masalah serius di Kota Bandung.

Benarkah Bandung kini jauh lebih macet? Kemacetan bisa menjadi satu isu atau bisa jadi hal lain yang menjadi salah satu faktor terjadinya kemacetan, yakni ketidaktaatan pengguna jalan pada aturan dan rambu lalu lintas.

Rambu lalu lintas yang menjadi simbol aturan dalam menggunakan fasilitas jalan, tampaknya telah hilang fungsinya. Rambu lalu lintas adalah simbol yang hanya bermakna karena masyarakat setuju dan memahami maknanya.

Misalnya, jika ada rambu bertuliskan S yang dicoret berarti tidak ada kendaraan yang diperbolehkan berhenti di area tersebut. Simbol tersebut telah menjadi aturan dan seharusnya dipahami oleh setiap pengendara.

Sayangnya, sejauh pandangan di jalan-jalan Kota Bandung banyak sekali pelanggaran rambu terjadi, bahkan di pusat kotanya.

Sebut saja di sekitar Gedung Sate, tepatnya di depan gedung DPRD dan sekitarnya, tidak hanya sekali kita melihat pemandangan mobil-mobil terparkir di bahu jalan yang terpasang rambu dilarang berhenti.

Ataupun di sepanjang jalan AH Nasution, masyarakat akan dengan mudah mendapati rambu dilarang berhenti tetapi tampak mobil yang tak hanya berhenti tetapi parkir di bahu jalan. Berhenti saja tidak diperbolehkan, ini bahkan digunakan sebagai zona parkir, lengkap dengan juru parkirnya.

Belum lagi kawasan Cicaheum dan Bandung timur yang terkadang menjadi terminal bayangan angkutan umum. Perilaku tidak taat pada rambu lalu lintas di Bandung ini menimbulkan pertanyaan. Apakah rambu-rambu lalu lintas di Kota Bandung sudah tidak lagi bermakna bagi masyarakat, khususnya pengendara?

Rambu Sebagai Interaksi Simbolik

Dalam ilmu komunikasi, teori interaksi simbolik (symbolic interactionism) merupakan salah satu teori yang berfokus pada interaksi sosial dan makna simbolik yang diciptakan dan digunakan oleh individu dalam kehidupan sehari-hari.

Teori ini berakar dari pemikiran George Herbert Mead dan dikembangkan lebih lanjut oleh Herbert Blumer. Blumer mengutarakan tiga prinsip utama interaksionisme simbolik, yaitu pemaknaan (meaning), bahasa (language), dan pikiran (thought).

Dalam arti pemaknaan (meaning) yang merujuk pada The Construction Of Social Reality, Blumer menyatakan individu berperilaku kepada masyarakat atau objek berdasarkan apa yang mereka pahami secara mendasar mengenai masyarakat atau objek tersebut.

Individu bertindak sesuai apa yang dia maknai dalam situasi yang sedang ia hadapi. Dalam kasus ini persepsi atau anggapan yang kita hasilkan mengenai tanda simbol rambu, situasi dan objeklah yang membentuk pola perilaku masyarakat dalam realitas sosial yang terjadi.

Individu tidak merespons lingkungan atau objek secara langsung, tetapi berdasarkan makna yang mereka berikan terhadap objek atau situasi tersebut.

Sebagai contoh, saat pengendara melihat rambu, mereka menafsirkan simbol itu lalu bertindak berdasarkan makna tersebut. Interaksi ini juga melibatkan prediksi perilaku pengguna jalan lain, sehingga Blumer juga menyatakan, bahasa merupakan sumber dari makna (language: the source of meaning). Makna ini muncul dari proses interaksi sosial antara satu sama lain atau antara individu yang satu dengan individu yang lain.

Bahasa merupakan sumber dari makna yang disampaikan seseorang terhadap sesuatu hal yang terjadi atau yang ada dihadapannya, walau bahasa tidak sepenuhnya dapat memaknai realitas yang sebenarnya namun setidaknya bahasa dapat menjadi wakil dari realitas itu sendiri.

Tidak adanya teguran, sanksi, dan pembiaran pada pelanggaran rambu akan menciptakan sebuah pemaknaan dari bahasa itu sendiri, bahwa rambu lalu lintas tidak perlu diperhatikan dan cenderung diabaikan.

Berikutnya, dalam proses berpikir, merupakan proses pengambilan peran orang lain (thought : the process of taking the role of other) yang menyatakan bahwa interpretasi individu mengenai simbol dibentuk oleh pemikirannya sendiri.

Blumer menggambarkan manusia sebagai individu yang memiliki kapasitas untuk “mengambil peran dari orang lain” yang berarti proses dimana kita secara sadar menilai diri sendiri melalui pandangan orang lain.

Kita menciptakan sebuah standar yang harus dicapai oleh diri kita sendiri. Proses tersebut ikut membentuk konsep mengenai diri individu.

Semua hal tersebut merupakan mengeneralisasi orang lain (generalized other), yakni sebagai pandangan kedua yang mempengaruhi bagaimana kita melihat diri sendiri, dapat berupa sekelompok aturan, peran-peran sosial, perilaku yang “ditekankan” oleh kelompok masyarakat, serta komunitas sosial dimana kita berada.

Normalisasi parkir liar, melawan arus, mengambil jalan kendaraan lain yang berlawanan arah, hingga berbagai perilaku melanggar aturan lainnya, tercipta akibat mayoritas pengendara merasa hal tersebut adalah tindakan yang biasa dilakukan oleh pengendara lain.

Mengembalikan Makna Simbol pada Rambu dan Tanda Jalan

Rambu lalu lintas adalah simbol sosial yang hanya bisa dimaknai melalui interaksi simbolik. Tanpa proses belajar, komunikasi, dan kesepakatan sosial, rambu tersebut tidak memiliki makna fungsional.

Dari gambaran sederhana tersebut, dapat terlihat bahwa jika pengguna jalan memaknai dengan benar simbol pada rambu dan tanda jalan, dan didukung oleh setiap individu dan aparat seharusnya dapat menciptakan budaya berlalu lintas yang benar.

Jika pemerintah daerah telah menyatakan kemacetan telah menjadi isu yang serius, maka setiap pemangku kepentingan yang terkait pada isu kemacetan ini juga perlu dengan serius untuk melakukan pembenahan, termasuk penegakkan aturan lalu lintas yang telah disepakati bersama.

Hal ini tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah, aparat, atau institusi terkait. Setiap lapisan masyarakat harus bersama menjaga makna rambu tanda jalan, agar dapat saling menghormati antara pengguna jalan dan menjaga ketertiban dalam berkendara.

Mungkin tidak secara instan kemacetan akan berkurang dengan adanya kesadaran akan aturan berlalu lintas. Namun, setidaknya peningkatan pemaknaan terhadap simbol yang terpampang pada rambu lalu lintas dapat meningkatkan kesadaran dalam menaati hukum dan aturan yang berlaku.

Maka, mengembalikan makna simbol pada rambu dan tanda jalan, menjadi hal yang perlu ditanamkan kembali kepada masyarakat. Apakah mungkin setiap pelanggar aturan tidak hanya diberikan sanksi tilang, tetapi juga diberikan pelatihan kedisiplinan agar tidak ada lagi pengendara yang bersikap arogan dan merasa kebal aturan.

Mungkin sedikit demi sedikit akan berkurang pengendara yang ketika ada hambatan di jalan, bukannya berusaha tertib, tetapi menyalip melalui bahu jalan atau melintasi garis batas jalan sehingga membuat kemacetan semakin parah.

Semoga saja tulisan ini menyadarkan kita bahwa, setiap pelanggaran apapun di jalan, harus diikuti sanksi atau paling tidak teguran dari pengendara lain.

Read Entire Article
Food |