Belajar dari Al Khoziny dan Komitmen Negara untuk Keberlanjutan Pesantren

10 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pesantren Indonesia sudah lama dikenal bukan hanya sebagai institusi pendidikan, tapi juga “rumah ketangguhan”, tempat tradisi, jaringan sosial, dan kepemimpinan kiai saling menopang ketika badai datang.

Musibah runtuhnya mushala di Pondok Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, jelas melukai banyak hati dan menyorot rapuhnya aspek fisik infrastruktur pesantren. Namun pengalaman panjang komunitas pesantren menunjukkan bahwa jiwa kelembagaan itu hampir selalu bangkit kembali: alumni bersatu, jaringan kiai turun tangan, dan publik serta negara akhirnya peka untuk bergerak bersama.

Presiden Prabowo Subianto merespons cepat insiden Al Khoziny. "Presiden memerintahkan Menko Pemberdayaan Masyarakat Muhaimin Iskandar beserta jajaran kementeriannya untuk memeriksa sekaligus memperbaiki pondok pesantren resmi yang perlu dicek kekuatan struktur bangunannya, serta memberikan bantuan dan menekankan kepada pemilik pondok untuk memperhatikan betul proses renovasi atau pengembangan gedung bila hendak membangun pondoknya," kata Seskab Teddy menyampaikan kembali isi perintah Presiden Prabowo pada awal Oktober.

Tiga kata kunci dia sampaikan kepada jajaran menteri: Cek gedung-gedung pesantren, evaluasi, dan bantu. Artinya, negara tak sekadar memberi pelajaran, tapi juga mengulurkan tangannya untuk merangkul komunitas pesantren sehingga meningkatkan kualitasnya dan bangkit dari tragedi al Khoziny.

Menteri Koordinator Pemberdayaan Masyarakat Abdul Muhaimin Iskandar (Cak Imin) langsung mendatangi pesantren-pesantren. Tak hanya dia, aparat pemerintah daerah tingkat satu dan dua juga mendatangi tempat santri belajar yang ada di sekitar mereka. Di sana mereka mengecek izin mendirikan bangunan dan kelayakannya. Kemudian mengedukasi dan membantu pesantren untuk memenuhi unsur kelayakan bangunan berdiri dan ditempati.

Namun respons institusional ini bukan satu-satunya alasan optimis. Tradisi gotong-royong di pesantren, dari PTA, wali santri, alumni, sampai jaringan sosial keagamaan seperti NU, sering kali memampukan perbaikan cepat dan transparan.

Di Al-Khoziny sendiri, alumni dan organisasi kemasyarakatan segera mengorganisir bantuan, pendampingan keluarga korban, serta relawan teknis untuk proses evakuasi dan recovery awal. Semangat kolektif inilah yang membuat pesantren tidak mudah padam meski bangunan runtuh.

Dari sisi regulasi, tragedi ini memaksa pembenahan sistem: ada dorongan untuk memperketat standar konstruksi pesantren, memperjelas mekanisme perizinan, dan memasukkan mitigasi risiko dalam program prioritas Kemenag dan pemerintah daerah.

Perbaikan aturan akan memakan waktu, tetapi menetapkan standar yang jelas adalah langkah kunci agar pembangunan pesantren berikutnya lebih aman. Pelajaran ini bisa melindungi puluhan ribu pondok lain di seluruh negeri.

Optimisme juga dapat dilihat dari respons politik: sejumlah tokoh dan partai politik menyerukan dukungan pembiayaan serta perbaikan infrastruktur, sementara DPR dan pemerintah daerah mendorong evaluasi perizinan.

Suara-suara ini, meski kadang berdebat soal sumber dana, memperlihatkan kesadaran kolektif bahwa pesantren adalah aset bangsa yang layak diinvestasikan. Jika modal politik ini dimanfaatkan dengan baik, pemulihan akan lebih terarah dan berkelanjutan.

Di ranah pendidikan, penting agar aktivitas belajar tidak terhenti lebih lama dari yang diperlukan. Banyak pesantren telah membuktikan kemampuan berpindah ke ruang terbuka, tenda, atau rumah warga untuk sementara sambil menyusun rencana pemulihan. Dukungan buku, guru relawan, dan program beasiswa sementara bagi santri yang kehilangan akses pendidikan akan menjaga kesinambungan pembelajaran, dan itu merupakan investasi bagi masa depan bangsa.

sumber : Antara

Read Entire Article
Food |