Ella Nur Lela
Hukum | 2025-06-18 15:39:02

Oleh: Lela Nur, Mahasiswi FH UNPAM, Tangerang Selatan.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2 Januari 2025, dengan putusan perkara nomor 62/PUU-XXII/2024, memutuskan bahwa aturan ambang batas (Presidential Threshold) 4% tidak memiliki kekuatan hukum. Keputusan ini membuka peluang bagi semua partai, termasuk partai kecil untuk menempatkan pasangan calon presiden / wakil presiden di Pemilu 2029. Dampak pasca penghapusan Presidential Threshold di Indonesia ini juga membuat tidak adanya batasan perolehan kursi atau suara.
Peluang Baru & Demokrasi yang Lebih Inklusif
Penghapusan ambang batas calon presiden / wakil presiden (syarat 20 % kursi DPR atau 25 % suara) membuat setiap partai (terutama yang kecil atau baru) mendapat akses sama untuk mencalonkan capres / cawapres. Studi dari Universitas Mathla’ul Anwar menyoroti bahwa keputusan ini membuka lembaran baru, di mana teknokrat, aktivis, figur lokal, atau profesional muda kini punya peluang maju tanpa harus bergabung ke “papan atas” partai besar atau koalisi. Ini menandai pergeseran dari politik elit ke politik inklusif, mengangkat calon dengan rekam jejak berbasis kompetensi dan komunitas, bukan struktur elit saja. Dengan semakin banyaknya calon dari berbagai spektrum, termasuk figur daerah, wanita, anak muda, dan minoritas, rakyat akan memiliki pilihan lebih luas.
Sistem sebelumnya yang hanya memungkinkan 2 sampai 3 pasangan calon sering kali memicu polarisasi tajam “kita vs mereka.” Kini, dengan lebih banyak kandidat independen atau alternatif dari partai kecil, pilihan publik tidak lagi semata-mata dibagi dua. Sejumlah pengamat menyampaikan bahwa pelebaran spektrum ini bisa meredam iklim politik yang sangat terpolarisasi, karena pemilih dapat menemukan figur dengan visi atau platform yang lebih sesuai dengan keragaman aspirasi masyarakat . Pengalaman internasional di negara-negara tanpa threshold, seperti Amerika Serikat atau Brasil, meskipun mereka menggunakan sistem dua putaran atau pemilu primer, menunjukkan bahwa keberadaan kandidat alternatif bisa menyeimbangkan dominasi dua partai besar. Peluang inklusif ini mencakup pada akses setara bagi partai kecil dan independen, memberi panggung bagi calon berdasarkan kompetensi. Partisipasi politik juga akan lebih tinggi, karena publik melihat wakil yang lebih mewakili beragam lapisan serta reduksi polarisasi, dengan kompetisi tidak lagi terjebak pada dua kubu saja.
Penghapusan threshold bukan hanya soal menghilangkan batas teknis, tetapi membuka jalan bagi demokrasi yang lebih matang, beragam, dan sejalan dengan prinsip representatif. Tentunya agar ini sukses, diperlukan kelengkapan regulasi dan kelembagaan yang mendukung seperti penyaringan kualitas calon, transparansi dana kampanye, dan keterlibatan publik aktif.
Fragmentasi dan Biaya Demokrasi
Dampak dampak pada terbukanya akses ini juga dapat memperburuk stabilitas Fragmentasi politik yang menyebabkan timbulnya potensi negosiasi pasca-pemilu dan banyaknya calon dapat memecah suara sehingga menyulitkan proses mencapai mayoritas, walaupn sistem dua putaran bisa menjadi penyeimbang. Tidak hanya itu, kompleksitas Pilpres meningkat dari sisi administrasi (KPU), kampanye bahkan hingga beban penyelenggaraan. Biaya Pemilu diprediksi melonjak, dan berpotensi melahirkan prkatik politik uang menjamur.
Dengan banyaknya calon akibat penghapusan Presidential Threshold, suara pemilih bisa terpecah secara signifikan. Ini memungkinkan calon sulit meraih >50% suara di putaran pertama, memaksa adanya putaran kedua sebagaimana tertuang dalam Pasal 416 (UU No. 7 tahun 2017) ayat (2). Fragmentasi seperti ini meningkatkan ketidakpastian politik karena kemenangan sangat bergantung negosiasi koalisi pasca-pemilu. Hal ini mendorong munculnya banyak wajah baru, namun fragmentasi suara menjadi risiko nyata, dan koalisi bisa menjadi rapuh karena bargaining yang panjang.
Selain itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan menghadapi tantangan besar dalam penyelenggaraan diantaranya verifikasi dokumen, administrasi dukungan, dan kampanye akan membebani sistem dalam pendaftaran calon. Tidak hanya itu, beban penyelenggaraan dalam setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS), distribusi surat suara, hingga keamanan akan menuntut tambahan sumber daya besar dan menelan angaran lebih banyak. Walaupun menurut UU No. 7 tahun 2017 pasal 325 ayat (3) menjelaskan “selain didanai oleh dana kampanye sebagaimana dimaksud pada ayat (2), kampanye Pemilu Presiden dan wakil presiden dapat didanai dari APBN”, artinya akan ada lonjakan angaran dalam Pilpres 2029 mendatang.
Oligarki dan Politik Dinasti:
Tanpa filterisasi dari partai besar, keluarga politik berpengaruh dengan akses ke kekayaan, jaringan, dan nama besar, memiliki jalan pintas menuju kekuasaan. Di Indonesia, keluarga elite secara sistematis disokong oleh partai politik, karena dianggap meningkatkan elektabilitas dan kemudahan akses sumber daya kampanye. Laporan Indonesian Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut bahwa dana kampanye datang dari donatur kaya (Metrotvnews), memicu konflik kepentingan dan cenderung menguntungkan mereka yang sudah punya akses modal besar.
Ketiadaan ambang batas memudahkan munculnya kandidat yang berfungsi sebagai alat kepentingan pihak kuat, bukan berdasar visi atau kapabilitas. Riset dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa dinasti-politik memfasilitasi korupsi, di mana figur yang meski terpilih secara formal tapi dikendalikan dari belakang oleh elite dengan kepentingan ekonomi atau politik tertentu.
Fragmentasi suara akibat banyaknya kandidat menciptakan ruang bagi partai kecil untuk menjadi penentu (kingmaker). Mereka memanfaatkan posisi tawar dengan menukar dukungan politik untuk kursi pemerintahan, proyek, atau konsesi lainnya. Pengalaman pilkada menunjukkan bahwa partai-partai dan figur kecil bisa memperoleh posisi strategis atas dukungan yang mereka sajikan, yang dalam banyak kasus terjadi melalui lobi tertutup dan kesepakatan tak transparan. Dengan demikian, mereka berpotensi memperkuat posisi oligarki dan memperpanjang jaringan patron-klien dalam politik.
Harapan
Dengan demikian, dibutuhkan revisi UU Pemilu (UU No. 7 tahun 2017) agar teknis pendaftaran capres lebih jelas, Legislatif (DPR) wajib menyiapkan regulasi turunan mengenai verifikasi, administrasi, dan jumlah calon wajar. Dibutuhkan regulasi pendukung seperti batas maksimal jumlah calon, syarat dukungan minimal, atau mekanisme seleksi internal agar tidak menimbulkan kekacauan.
Walaupun penghapusan Presidential Threshold menandai langkah signifikan menuju demokrasi yang inklusif, namun tanpa strategi pendukung, regulasi yang tepat, filter kualitas calon, dan kontrol finansial berisiko fragmentasi, biaya berlebih, dan politik uang bisa membayangi. Untuk menjamin manfaat ini maka diperlukan penerapan filter tambahan dalam regulasi pendukung seperti minimal dukungan calon (elektoral) dan batas maksimal pendaftar, tingkatkan sistem verifikasi pendaftaran dan audit dana kampanye (KPU dan Bawaslu), perkuat sanksi politik uang (dengan pengawasan lebih ketat dan hukuman tegas), dan literasi politik masyarakat agar warga bisa menilai calon berdasarkan visi bukan hadiah, serta pengawasan publik yang kuat.
Dengan langkah ini, perubahan besar ini bisa menjadi fondasi demokrasi Indonesia yang tangguh dan berkualitas. Tanpa pendampingan kebijakan dan budaya politik yang matang, peluang besar ini bisa justru menjerumuskan demokrasi ke arah yang tidak sehat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.