Rakyat Bisa Kok Patungan Beli Hutan, Ini Caranya

10 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bencana banjir Sumatera memicu kritik publik terhadap laju deforestasi di Indonesia. Di berbagai platform media sosial, warganet ramai-ramai bicara soal gerakan rakyat patungan membeli hutan agar hutan tidak ditebang dan dialihfungsikan. Lalu, mekanisme apa yang bisa ditempuh masyarakat untuk membeli hutan?

Perbincangan soal rakyat membeli hutan juga disinggung akun Pandawara Group. Dalam unggahannya di Instagram beberapa hari lalu, Pandawara membuat tulisan dengan kalimat “Lagi ngelamun, tiba-tiba aja kepikiran gimana kalo masyarakat Indonesia bersatu berdonasi beli hutan-hutan agar tidak dialihfungsikan."

Unggahan itu mendapat banyak reaksi dari warganet. Banyak warganet di kolom komentar yang menyatakan siap ikut patungan membeli hutan.

Salah satu langkah yang bisa dilakukan masyarakat untuk menyelamatkan hutan adalah dengan mengikuti program hutan wakaf. Sejak lama, sudah terdapat sejumlah lembaga yang menjalankan program tersebut.

Melalui program itu, dana yang terkumpul dari masyarakat digunakan untuk membeli lahan atau hutan yang difungsikan sebagai hutan wakaf.

Program hutan wakaf bisa memberikan perlindungan seumur hidup terhadap kawasan hutan karena sifat wakaf yang tidak boleh dialihkan, dijual, atau diubah peruntukannya.

Ketua Yayasan Hutan Wakaf Bogor, Khalifah Muhammad Ali dalam artikel yang sudah dipublikasikan di Republika, menyatakan bahwa hutan wakaf memberikan kepastian hukum yang tidak dimiliki model konservasi lain. Tanah wakaf dilindungi oleh syariat dan juga dijamin negara melalui Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

“Tanah wakaf itu tidak boleh diubah bahkan sampai kiamat. Jadi, selama-lamanya tanah wakaf ini harus menjadi hutan,” kata Khalifah.

Pada pertengahan tahun ini, berbagai lembaga, yayasan, dan nazir berkumpul dalam Focus Group Discussion (FGD) untuk terus mengembangkan program hutan wakaf. FGD itu difasilitasi Muslim for Shared Action on Climate Impact (MOSAIC) di Jakarta pada Senin (21/5/2025).

Dari pertemuan tersebut terhimpun data awal aset wakaf yang sudah atau berpotensi dikelola sebagai hutan wakaf mencapai 7.349,1 hektare dari delapan lembaga, antara lain, Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf (IKHW), Yayasan Hutan Wakaf Bogor, Yayasan Pendidikan Maarif (YPM), dan Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah. Para peserta FGD kemudian membentuk Forum Hutan Wakaf Indonesia yang menyusun peta jalan pengembangan hutan wakaf untuk lima tahun ke depan.

Di Aceh, Inisiatif Konservasi Hutan Wakaf (IKHW) menjadi contoh implementasi program hutan wakaf. Lembaga tersebut beberapa bulan lalu telah menambah sekitar 1 hektare hutan wakaf melalui pembebasan lahan kritis di Lembah Seulawah, Gampong Baro, Seulimum, Aceh Besar. Dengan penambahan ini, total hutan wakaf yang dikelola IKHW mencapai 6 hektare.

Founder IKHW, Afrizal Akmal, mengatakan capaian tersebut diraih lewat kampanye dan sosialisasi panjang sejak tahun 2012. “Penggalangan donasi dimulai sejak tahun 2012 untuk tujuan membangun hutan konservasi yang berfungsi sebagai kawasan perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai tempat hidup satwa liar, sebagai sumber plasma nutfah dan sebagai arboretum berbagai tumbuhan endemik Aceh. Dihajatkan untuk kepentingan orang banyak sebagai penyedia jasa lingkungan, sumber keanekaragaman hayati dan arboretum,” ujar Afrizal dalam keterangan tertulis kepada Republika, beberapa waktu lalu.

Menurut Afrizal, lahan-lahan yang kini hijau dulu merupakan kawasan gersang akibat tekanan aktivitas manusia selama puluhan tahun. Melalui pendekatan konservasi berbasis wakaf, komunitas berhasil memulihkan ekosistem yang sebelumnya nyaris hilang.

Pendekatan pemulihan ekosistem yang ditawarkan komunitas ini adalah dengan memberi bidang prioritas pada konservasi langsung, membebaskan lahan kritis, dan membangun hutan di atasnya.

IKHW juga mendorong publik untuk berpartisipasi, baik sebagai relawan lapangan, peneliti, penggerak kampanye digital, maupun donatur. “Fokus utama dari komunitas ini sebenarnya untuk menginspirasi banyak orang untuk melakukan diaspora di tingkat yang lebih luas dengan konsep yang sama,” ujarnya.

Meningkatnya pembicaraan mengenai “rakyat membeli hutan” menunjukkan kebutuhan publik atas model pengamanan lahan yang lebih kuat dan partisipatif. Di tengah keterbatasan negara menahan laju deforestasi, hutan wakaf bisa menjadi solusi yang secara hukum lebih permanen dan terbukti mendapat dukungan masyarakat.

Dengan landasan syariah, perlindungan hukum negara, dan kontribusi masyarakat, hutan wakaf menjadi solusi konkret untuk menghadapi krisis iklim. Skema ini juga membuka ruang bagi masyarakat untuk terlibat langsung dalam menjaga hutan, bukan sekadar sebagai wacana yang viral di media sosial.

Read Entire Article
Food |