REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Musyawarah kitab yang pernah saya alami sewaktu mesatren di Lirboyo ialah metode mendiskusikan isi kitab baik dari terjemahan yang tepat, murad (apa yang dimaksud) dalam teks, dan pengembangan wawasan dari teks yang didiskusikan. Ada yang bertugas untuk menyampaikan dan menjelaskan serta memandu jalannya diskusi yang disebut sebagai rais (pemimpin).
Boleh jadi, metode musyawarah kitab pun diterapkan di pesantren-pesantren salaf tradisional lainnya seperti Ploso, Situbondo, Kajen, Sidogiri, dan yang lain.
Musyawarah kitab memiliki waktunya sendiri. Waktu kelas ibtidaiyah pagi dari pukul 7.00 sampai pukul 12.00. sedengkan waktu sekolah madrasah tsanawiyah dan aliyah dilaksanakan malam hari dari pukul 19.00 sampai pukul 23.00.
Waktu musyawarah kitab dari pukul 13.30 sampai pukul 15.00. Setelah shalat asar, pukul 15.30 sampai pukul 16.30 atau 17.00 ada pengajian kitab yang diampu para kiyai dan guru dari kitab kecil sampai kitab besar dengan metode maknani dan mentarkib atau makna berbaris.
Rais (pemimpin musyawarah) pertama kali membacakan teks kata perkata dan menerjemahkannya, lalu penjelasan singkat atau disebut murad, dan peluasan penjelasan secara terbatas. Setelah itu rais membuka diskusi.
Teman-teman, khususnya dari kalangan rais, mengkritisi jika ada terjemah atau murad (penjelasan) yang dirasa kurang tepat dan mengajukan terjemahan dan murad yang dirasa tepat.
Saat itulah perdebatan dan adu argumentasi terjadi. Saling sanggah dan saling membela pendapat dirinya sendiri-sendiri. Perdebatan itu baru selesai tuntas setelah mendapatkan titik kesepakatan bersama. Jika tidak ada kesepakatan, terjadi deadlok atau mauquf, akan disampaikan ke guru.
Karena memang musyawarah kitab itu dipantau oleh guru dari luar kelas. Guru hanya melongok, melihat, dari luar jendela, tidak ikut campur. Yang melaksanakan musyawarah para murid itu sendiri.
Seandainya terjadi mauquf, setelah selesai musyawarah, maka baru ditanyakan kepada guru. Jikapun setelah guru menjelaskan, para murid dipersilahkan untuk mengkritik apa yang sudah disampaikan guru jika memang dirasa tidak sesuai dengan pemahamannya atau pendapat dirinya. Dari diskusi, saling bantah dan kritik antar murid ke diskusi dan kritik kepada penjelasan guru.
Guru—yang disebut mustahiq dalam tradisi pesantren Lirboyo—tidak merasa risih, tersinggung atau marah menyikapi kritik dan perdebatan dengan muridnya. Malahan sang guru akan senang, sukacita, dan bersemangat menyikapi kritik.
Guru cenderung menikmatinya. Bahkan jika ada murid yang kritis dan mempunya pemahaman yang tajam, maka akan diangkat menjadi rais. Guru pun obyektif, jika dirasa pemahamannya benar maka akan mempertahankan dan mencoba mematahkan pemahaman murid yang tidak setuju.
Tetapi jika guru ragu dengan pemahamannya sendiri, beliau meminta waktu untuk memahaminya kembali atau bertanya ke guru lain dan jawabannya akan disampaikan pada jam waktu masuk kelas.
Biasanya perbedaan pemahaman dan perdebatan itu terjadi lantaran perbedaan dalam memahami teks dari perspektif nahwu (gramatika arab) yang berimplikasi pada pemahaman. Atau perbedaan dari rujukan kitab syarah (penjelasan lebih lanjut) dalam rangka perluasan penjelasan.