Dikky Nugraha
Alkisah | 2025-10-09 22:30:38

Ada masa di mana hidup tak lagi bicara tentang siapa yang paling cepat berlari, tetapi siapa yang masih sanggup berjalan dengan hati yang utuh. Aku telah melalui hari-hari di mana idealisme diuji oleh kenyataan, dan cinta diuji oleh kesetiaan pada amanah yang tak pernah kuminta.
Kadang aku berdiri di tengah riuh sorak dunia, tapi jiwaku sunyi. Kadang-kadang aku tersenyum di hadapan banyak orang, padahal di dalam dada, ada pertempuran antara menyerah atau terus bertahan dengan nilai yang kutanam sendiri.
Aku bukan pahlawan, hanya seseorang yang mencoba memahami arti bertahan ketika segala sesuatu terasa runtuh. Bahwa menjadi kuat bukan berarti tidak terluka, melainkan tetap berjalan meski langkahnya penuh darah dan doa.
Hari ini aku menulis, bukan untuk dikenang, tapi agar aku tak lupa pernah berjuang dengan cara yang sederhana: mencintai, mengabdi, dan memilih diam tanpa kehilangan arah. Sebab hidup bukan tentang menang atas orang lain — tapi tentang tidak kalah terhadap diri sendiri.
BAB 1 — AMANAH DAN LUKA
Ada amanah yang datang seperti cahaya, tapi juga ada yang hadir seperti beban di dada. Tidak semua tanggung jawab lahir dari keinginan, terkadang ia datang dari garis takdir yang bahkan belum sempat kita sepakati.
Aku mengenal arti tanggung jawab bukan dari pilihan, melainkan dari nama keluarga yang harus kujaga. Darahku adalah bagian dari sebuah yayasan yang dibangun di atas niat mulia, tapi di pundakku, niat itu terkadang terasa seperti rantai yang berat.
Mereka bilang, “Ini jalan pengabdian.” Dan aku percaya itu. Namun tidak ada yang mengatakan bahwa pengabdian juga bisa menyakiti — bahwa di balik senyuman para guru dan tumpukan buku pelajaran, ada hati yang sering diam-diam menangis di antara doa subuh.
Aku tumbuh di dunia di mana keikhlasan adalah syarat pertama, sementara kesejahteraan hanya janji yang jarang ditepati. Tapi di situ pula aku belajar satu hal penting: bahwa memberi tidak selalu membuatmu kaya, namun menahan diri agar tetap tulus — itulah kekayaan yang sesungguhnya.
Setiap hari aku dihadapkan dengan wajah-wajah polos anak-anak, yang memandang dunia dengan cahaya di mata mereka. Dan dari sanalah aku belajar, bahwa terkadang amanah tak perlu dipahami sepenuhnya, cukup dijalani dengan hati yang tetap percaya, meski langkahnya penuh luka.
Luka itu tidak membuatku berhenti, ia hanya mengingatkanku untuk berjalan lebih pelan, agar aku bisa mendengar suara Tuhan di antara langkah yang letih.
Karena di setiap luka, selalu ada ruang bagi cinta tumbuh. Dan di setiap tangis yang tertahan, selalu ada doa yang menunggu waktu terbaiknya untuk dijawab. Mungkin inilah bagaimana Tuhan membimbingku: dari amanah yang melukai, menuju cinta yang menyembuhkan.
Di dalamnya kisah mulai melebur — antara perasaan yang lahir dari hati, dan tanggung jawab yang tumbuh dari pengabdian. Tempat di mana cinta tak lagi sekadar milik dua manusia, tapi juga milik mereka yang mau berjuang bersama.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.