Bayang-Bayang di Tepian Sungai Musi

20 hours ago 2

Home > Budaya Sunday, 02 Nov 2025, 22:58 WIB

Sungai Musi tetap mengalir, membawa cerita yang tak tercatat. Kota ini bukan hanya tentang pempek dan sejarah maritim, tapi juga tentang siapa yang boleh menentukan batas.

Fiksi AI

Langit malam Palembang seperti kanvas kusam yang nyaris tak memberi warna. Lampu-lampu Jembatan Ampera memantul di air Sungai Musi, membentuk kilauan tak simetris—indah bagi turis, gelap bagi mereka yang tahu cerita di baliknya.

Di pelataran Benteng Kuto Besak, tempat ratusan orang berlalu-lalang setiap hari, ada wilayah yang tak dicatat peta resmi. Wilayah itu milik Raka, seorang pemuda berjaket kulit usang, yang berjalan pelan sambil menyulut rokok kretek dari bungkus yang sudah terlipat kusut.

Ia pernah jadi anak jalanan. Pernah tidur di bawah jembatan, dan sekali—dulu—pernah dipukuli oleh preman hanya karena mencoba menjual air mineral tanpa “izin”. Sejak saat itu, ia belajar: di kota ini, siapa yang berkuasa bukan ditentukan oleh hukum, tapi oleh siapa yang berani tampil garang.

Kini, ia pemilik “lapak”, penguasa parkiran liar dan pengamen malam. Ia bukan sekadar preman. Ia sistem yang tumbuh dari pembiaran.

Malam itu, satu keluarga dari Jakarta tiba dengan mobil minibus silver, parkir di area partkit pelataran Benteng Kuto Besak kadang ada yang menyebutnya, “BKB”.

Arman, anak buah Raka yang baru dua bulan bergabung, mendekat dengan gaya santai. Wajahnya muda dan masih ada keraguan dalam sorot matanya.

“Bang, retribusi malam. Seikhlasnya ya...” katanya kepada sang pengemudi, Pak Hari yang duduk di belakang stir tampak kebingungan.

“Saya sudah bayar tadi ke juru parkir resmi. Ini karcisnya”, jawab Pak Hari, menunjukkan secarik kertas kecil.

Arman terdiam. Dalam dadanya, ada dorongan untuk berkata, ‘Maaf, saya salah orang.’ Tapi ia sudah diajari bahwa ragu adalah pintu kehancuran.

“Seikhlasnya lain. Ini buat keamanan”, ia lanjutkan dengan nada lebih tegas.

Pak Hari menggeleng, menolak.

Dari kejauhan, Raka mengamati, dan seperti biasa, ia turun tangan saat anak buahnya kehilangan kendali. Langkah Raka berat tapi terukur. Ia berdiri di antara lampu taman dan bayangannya sendiri. Saat ia mendekat, anak kecil di kursi belakang mobil mulai menangis.

Image

MASPRIL ARIES

Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA

Read Entire Article
Food |