Catatan Cak AT: Wow! Emas 3,5 Ton

3 hours ago 2
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Wow! Emas 3,5 Ton. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Kalau ada lomba korupsi emas, maka pemenangnya nyaris bisa ditebak tanpa voting. Ya, kasus 35 ton emas. Bukan gram, bukan kilo, tapi "ton", Saudara-saudara. Nilainya Rp189 triliun rupiah — angka yang kalau ditulis penuh, bisa bikin kalkulator hang hangus.

Dan seperti biasa, di balik kilau emas itu bukan hanya ada kemewahan, tapi juga kerak kerak kerak... kerak moral dan kerak kerak kerakusannya manusia.

Prof. Mahfud MD, mantan Menkopolhukam yang lebih sering berperan sebagai ombudsman moral bangsa ketimbang pejabat negara, tampaknya belum bisa melepaskan diri dari kasus ini.

Dulu, ketika masih menjabat, beliau sudah membongkar borok yang baunya lebih tajam dari formalin.

Baca juga: Penggunaan Sustainable Aviation Fuel Perkuat Kolaborasi Industri Aviasi

Kini, setelah tongkat estafet Menteri Keuangan berpindah ke yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, Mahfud seperti berkata: “Ini PR lama, jangan cuma disemir, tolong disikat sampai kinclong.” Dalam sesi podcast Terus Terang akhir pekan, Mahfud membeberkan modus korupsi besar itu.

Kasusnya terjadi di lingkungan Bea Cukai, di lingkungan Kementerian Keuangan, yang melibatkan selisih 3,5 ton emas impor, serta temuan pencucian uang mencapai Rp189 triliun. “Ini bukan 3,5 gram, bukan 3,5 kilo, tapi 3,5 ton emas. Itu baru satu kasus,” ungkap Mahfud dengan nada serius.

Saat jadi ketua Komite Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dia sudah berusaha keras mengusut kasus ini. Bahkan hingga pada akhirnya, penyidik Ditjen Bea Cukai menerbitkan surat perintah penyidikan (Sprindik) kasus impor emas Rp189 triliun, pada 19 Oktober 2023.

Dan memang, siapa pun yang masih punya urat malu akan manggut manggut: 35 ton emas itu bukan kasus biasa. Itu bukan “kesalahan administratif”, bukan “salah input HS Code”, bukan pula “salah kirim dokumen ke server”.

Baca juga: Muhammadiyah Buka Ritel MentariMu Mart, Diharapkan Jadi Kekuatan Ekonomi Umat

Itu grand larceny in broad daylight — pencurian besar-besaran dengan lampu sorot menyala dan mikrofon menyala. Tapi karena dilakukan dengan dasi rapi dan surat resmi, maka kejahatan itu bertransformasi jadi “transaksi”.

Nama yang muncul dari balik singkatan “SB” yang disebut Mahfud sudah bukan rahasia negara: Siman Bahar aias alias Bong Kin Phin. Sosok yang, kalau dibuat film biografi, mungkin akan diberi judul The Godfather of Kalimantan.

Bersama adiknya, Lisan Bahar alias Lim Ciun On, ia seolah terlahir dari rahim yang sama dengan tambang emas di Monterado. Bedanya, kalau tambang itu menambang logam mulia, keluarga Bahar ini menambang celah hukum.

Siman yang menghadapi kasus lain dari KPK kini katanya sakit. Dua belas cincin platinum menahan pembuluh darahnya, mungkin sepadan dengan dua belas cincin korupsi yang menahan nuraninya. Lisan, si adik yang juga dijerat KPK, malah lebih lincah lagi bagaikan belut di sungai keruh.

Baca juga: Krisdayanti Raih Medali Perak di Kejuaraan Dunia Wushu 2025 di China

Lisan kabur bak Tom Cruise dalam Mission Impossible, meninggalkan jejak korupsi puluhan miliar rupiah, dolar ratusan, dan 47 keping emas di sebuah apartemen di Pontianak. Kalau polisi ditanya dalam sinetron, adegannya akan selalu bernarasi sama: “Kami sedang dalam pengejaran.”

Dulu, tahun 1998, Lisan juga sudah pernah kabur — bawa emas dua kilo yang dibungkus dodol durian. Ya, dodol durian! Barangkali hanya di negeri ini, emas batangan bisa lolos lewat pintu bandara karena petugas sibuk ngiler mencium bau durian. Kepala bandara waktu itu cuma bisa mengeluh.

Mereka cuma bisa bilang: “Hukum di sini kadang lebih lunak daripada dodol itu sendiri.” Dan kini, dua puluh tujuh tahun kemudian, modusnya naik kelas. Dulu dodol, kini kardus uang dan batangan emas. Tapi skripnya tetap sama: mafia kabur, pejabat geleng, publik bosen.

Kasus kakaknya? Siman Bahar disebut-sebut memalsukan data kepabeanan, memanipulasi HS Code, memanfaatkan celah pajak, lalu mengekspor perhiasan fiktif ke Hong Kong. Emas yang katanya sudah jadi gelang, entah bagaimana, tiba-tiba beredar di pasar dalam negeri.

Baca juga: Mendikdas: Mulai 2027, Bahasa Inggris Pelajaran Wajib Sejak SD

Alkisah, kasus ini bermula dari sebuah kerja sama yang di atas kertas tampak rapi dan sah, tapi di balik materai dan tanda tangan itu ternyata tersembunyi urusan yang lebih berkilau dari sekadar perhiasan.

Siman Bahar, Direktur PT Loco Montrado, menjalin kontrak dengan Dicson Luisdyanto, Direktur PT Tujuan Utama, untuk mengerjakan pesanan perhiasan emas dari sebuah perusahaan Hong Kong bernama Xin Zhong Cheng PTE, Ltd.

Perjanjian diteken pada 25 Februari 2015, dengan skema sederhana: PT Tujuan Utama mengimpor emas batangan dari Hong Kong, menyerahkannya kepada PT Loco Montrado milik Siman untuk diolah menjadi perhiasan, lalu mengekspornya kembali ke perusahaan pemesan.

Dalam dokumen, semuanya tampak legal dan tertib. Namun seperti banyak kisah hukum di negeri ini, keindahan administratif itu hanya sampai di permukaan.

Baca juga: P3M UNAS Sampaikan Kajian Refleksi Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran

Pada awal 2016, Siman Bahar mengabari staf PT Tujuan Utama bernama Jessy bahwa hasil pengolahan emas tersebut masih menyisakan bahan baku sebanyak 218 kilogram lebih—jumlah yang bagi masyarakat biasa bisa membangun satu kota kecil.

Sisa emas itu kemudian dikemas rapi dalam 27 paket _scrap jewelry_, dibungkus lakban cokelat, dan dikirim kembali ke PT Tujuan Utama melalui surat jalan resmi tanggal 21 Januari 2016. Dalam faktur disebutkan isinya hanya “scrap jewelry”, seolah-olah barang sisa yang nilainya tak seberapa.

Padahal, kalau ditimbang-timbang, “sisa” itu sendiri setara hampir seperempat ton emas murni. Dari sinilah permainan dimulai. Dicson, sang direktur PT Tujuan Utama, menyebut kiriman emas itu dalam dokumen ekspor sebagai “perhiasan” senilai 6,86 juta dolar AS—sebuah trik klasik agar bisa mendapat fasilitas bebas pajak impor PPh Pasal 22, yang seharusnya sebesar 2,5 persen dari nilai barang.

Lebih ironis lagi, PT Tujuan Utama sama sekali tidak memiliki izin ekspor sebagaimana diwajibkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46 Tahun 2012. Dengan kata lain, ekspor yang diklaim sah itu sesungguhnya hanyalah akrobat hukum: emas batangan yang disamarkan menjadi perhiasan fiktif, dikirim bolak-balik lintas negara untuk mencuci dosa keuangan di bawah label “bisnis legal”.

Baca juga: Catatan Cak AT: Membaca Sastra Koreksi Permanen

Begitulah, di atas meja tampak kerja sama internasional yang elegan. Padahal, di bawah meja, itu hanyalah transaksi manipulatif dengan aroma klasik: kolusi, penyelundupan, dan pencucian uang yang berkilau seindah logam mulia yang mereka curi dari bangsa sendiri.

Mahfud punya catatan semua itu. Maka, dia tak berhenti berteriak sejak dulu: “Saya punya datanya! Sudah ada polanya! Tinggal kemauan politik!” Tapi sayang, di republik ini, kemauan politik sering berumur lebih pendek dari masa jabatan pejabat itu sendiri.

Tak heran jika setiap kali muncul menteri baru, kasus lama dibungkus ulang seperti dodol: dikemas rapi, dilabeli “Proses Hukum Berjalan”, lalu disimpan di lemari besi birokrasi. Begitulah di negeri ini, mafia hukum sudah berurat-berakar hingga sedalam perut bumi.

Kini, harapan disematkan pada Purbaya Yudhi Sadewa — sosok yang baru naik ke ring pertarungan finansial negara. Gaya gebrakannya segar dan tegas, kata Mahfud. Tapi publik tahu, melawan mafia emas dan mafia hukum di negeri ini seperti mencoba mencabut paku bumi.

Baca juga: Multaqo Kebrutalan G30S PKI: Sejahtera-Gemah Ripah Loh Jinawi dengan Kapitalisme-Demokrasi dan Komunisme Mimpi?

Sebab mafia-mafia itu bukan sekadar “pengusaha nakal”, tapi juga sudah membangun ekosistem lengkap: punya tambang, punya bea cukai, punya beking, punya narasi. Mahfud boleh berharap besar pada Purbaya, tapi kasus ini melibatkan mafia lama yang sulit diberantas.

Bayangkan, sejak 2017 hingga 2019, emas 3,5 ton bisa hilang karena “pengelompokan HS Code yang keliru”. Itu sama seperti kita kehilangan sapi satu kandang lalu bilang: “Mungkin salah tulis di daftar kurban.”

Sementara di Kalimantan, cerita mafia keluarga Bahar sudah jadi legenda lokal. Lisan dikenal sebagai “orang yang bisa menghilang tanpa jejak” — tapi entah kenapa, bisnisnya tetap eksis, hotelnya tetap buka, rekeningnya tetap mengalir.

Maka wajar jika publik akhirnya lebih percaya pada kisah hantu Pontianak ketimbang janji polisi untuk menangkap Lisan Bahar.

Baca juga: Gencatan Senjata Dicuekin, Tentara Israel Terus Bunuh Warga Gaza

Mahfud benar ketika bilang, “Purbaya akan menghadapi orang besar, bahkan menteri.” Di negeri yang korupsinya berbobot ton, bukan gram, keberanian itu bukan sekadar modal moral — tapi juga modal nyali yang disuntik tiga kali sehari.

Dan di sinilah tragedinya menjadi lelucon nasional. Ketika rakyat mendengar kata “3,5 ton emas raib”, mereka tidak lagi marah. Mereka hanya nyengir getir, sambil berkata: “Lah, masih mending cuma 3,5 ton. Biasanya lebih.”

Itu tanda bahwa bangsa ini sudah terlalu sering disuguhi absurdnya hukum, sampai-sampai realita terasa seperti satire yang ditulis Tuhan dengan pena keputusasaan.

Tapi — seperti biasa — di balik kelam ada pelajaran. Bahwa harapan kadang muncul bukan dari pejabat baru, tapi dari daya ingat rakyat yang menolak amnesia. Selama masih ada orang seperti Mahfud yang terus bicara, dan publik yang tak berhenti mendengar, maka bahkan 35 ton emas pun tak bisa menutup sinar kecil keadilan yang menyelinap di antara retakan sistem.

Barangkali, suatu hari nanti, jika bangsa ini sudah bosan jadi penonton sinetron korupsi, kita akan menulis bab baru: bukan tentang emas yang hilang, tapi tentang nurani yang ditemukan. (***)

Penulis: Cak AT – Ahmadie Thaha/Ma’had Tadabbur al-Qur’an, 20/10/2025

Read Entire Article
Food |