Oleh : Ahmad Tholabi Kharlie: Anggota Tim Penyempurnaan Tafsir Alquran Kementerian Agama RI
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Buku Tafsir Ayat-Ayat Ekologi: Membangun Kesadaran Ekoteologis Berbasis Al-Qur’an, yang diterbitkan Lajnah Pentashihan Mushaf al-Qur’an, Kemenag RI, 2025, hadir di tengah meningkatnya kegelisahan global tentang kerusakan lingkungan dan krisis spiritual manusia modern.
Buku setebal 275 halaman ini mencoba mempertemukan dua kutub besar, yakni teks wahyu dan kesadaran ekologis. Hasilnya, lahir tafsir tematik yang menautkan makna ayat-ayat lingkungan dengan kesadaran ekologis, yakni menghadirkan ekoteologi qurani sebagai panduan rohani dan etika bagi manusia dalam menghadapi krisis bumi.
Kekuatan utama buku ini tampak pada upayanya menghadirkan Alquran sebagai sumber nilai moral sekaligus pedoman ekologis bagi terwujudnya harmoni antara manusia dan alam. Ayat-ayat seperti al-Rum/30:41 tentang kerusakan di darat dan laut, al-Baqarah/2:30 tentang manusia sebagai khalifah, hingga al-Rahman/55:7-9 tentang keseimbangan (mizan), dibaca ulang secara kontekstual. Kerusakan ekologis adalah manifestasi krisis spiritual manusia, ketika hubungan sakral antara dirinya, Tuhan, dan alam kehilangan keseimbangan, jauh melampaui sekadar kegagalan kebijakan atau teknologi.
Tim penyusun tampak menyadari sepenuhnya tesis besar Seyyed Hossein Nasr dalam Man and Nature: The Spiritual Crisis of Modern Man (1968), bahwa modernitas telah menyingkirkan sakralitas alam dari kesadaran manusia. Ketika alam dipandang sekadar objek eksploitasi, hilanglah hubungan teologis antara manusia dan ciptaan. Buku ini, dalam konteks Indonesia, berupaya menyembuhkan luka itu. Ia menegaskan kembali pandangan Alquran tentang alam sebagai bagian dari tatanan kosmik yang senantiasa berzikir kepada Tuhan, sehingga menjaga kelestariannya menjadi bagian dari ibadah manusia.
Pendekatan ekoteologis yang digunakan buku ini memadukan tafsir klasik dan kontemporer. Dalam menafsirkan Rabb al-‘Alamin, misalnya, para penyusun mengutip al-Razi dan Thanthawi Jawhari untuk menegaskan bahwa “Rabb” bukan hanya Tuhan transenden, tetapi juga pengasuh ekosistem yang mengatur keteraturan alam. Dengan demikian, kesadaran ekologis adalah bentuk tawhid rububiyyah yang konkret. Ketika manusia merusak hutan atau mencemari sungai, sejatinya ia sedang mengingkari sifat Allah sebagai Rabb al-‘Alamin, pemelihara seluruh makhluk.
Menariknya, buku ini tidak jatuh pada moralitas abstrak. Ia memberikan dimensi praksis yang kuat, bahwa menanam pohon, menjaga air, mengurangi limbah adalah bentuk ibadah. Hadis Nabi yang diriwayatkan Ahmad dari Anas, “Jika kiamat terjadi dan di tangan salah seorang dari kalian ada bibit pohon, maka tanamlah,” ditafsirkan sebagai perintah etis yang menyatukan iman dan aksi ekologis. Dengan kata lain, keimanan sejati selalu berbuah pada keberpihakan terhadap kehidupan.
Dari sisi metodologis, Tafsir Ayat-Ayat Ekologi menampilkan keberanian epistemologis. Ia tetap berakar pada pendekatan tahlili (analitik) yang menjadi tradisi tafsir klasik, sekaligus mengembangkannya dalam bentuk tafsir tematik yang kontekstual dengan realitas kekinian. Ini membuat kitab suci berbicara dalam bahasa zaman tanpa kehilangan ruhnya. Dalam konteks inilah relevan pandangan Fazlur Rahman dalam Islam and Modernity (1982) bahwa tugas tafsir bukan mengulang masa lalu, melainkan menghidupkan makna wahyu dalam realitas sosial yang terus berubah.