Hijrah: Revolusi Peradaban dan Relevansinya di Era Kontemporer

5 hours ago 3

Image Ana Fras

Politik | 2025-07-01 10:47:10

Ketika Rasulullah ﷺ meninggalkan Mekah menuju Madinah pada tahun 622 Masehi, peristiwa itu bukanlah sekadar perpindahan geografis seorang pemimpin agama. Hijrah adalah momentum revolusioner yang mengubah wajah peradaban manusia, dari tatanan jahiliyah yang dekaden menuju masyarakat madaniyah yang berkeadilan. Inilah transformasi paling fundamental dalam sejarah, dimana untuk pertama kalinya hukum-hukum Illahi diimplementasikan secara komprehensif dalam sebuah entitas politik.

Sebelum Hijrah, masyarakat Arab tenggelam dalam kegelapan jahiliyah yang menyeluruh. Fanatisme kesukuan memecah belah persatuan, sistem ekonomi ribawi menindas kaum lemah, hukum rimba berlaku dimana yang kuat menguasai yang lemah, dan politeisme mengaburkan konsep keadilan universal. Dalam kondisi inilah Islam hadir sebagai cahaya yang menerangi kegelapan, namun implementasinya memerlukan ruang politik yang memungkinkan tegaknya supremasi hukum Allah.

Madinah menjadi laboratorium peradaban pertama dimana Rasulullah ﷺ menjalankan eksperimen besar mentransformasi masyarakat berdasarkan wahyu Illahi. Piagam Madinah yang beliau susun menjadi konstitusi revolusioner yang menggantikan loyalitas tribal dengan ikatan akidah. Muhajirin dan Anshar dipersaudarakan dalam ikatan yang lebih kuat dari hubungan darah, menciptakan solidaritas sosial berdasarkan iman. Ini adalah revolusi sosial yang mengubah struktur masyarakat dari akar-akarnya.

Dalam aspek ekonomi, Rasulullah ﷺ merombak total sistem yang eksploitatif. Riba dan praktik-praktik yang menindas diharamkan, digantikan dengan sistem yang berkeadilan. Institusi zakat dibentuk sebagai mekanisme redistribusi kekayaan yang sistematis, sementara sektor riil diperkuat melalui perdagangan yang halal dan berkeadilan. Tidak ada lagi konsentrasi kekayaan di tangan segelintir elit, melainkan sirkulasi ekonomi yang sehat yang menjamin kesejahteraan bersama.

Yang paling revolusioner dari transformasi Madinah adalah tegaknya supremasi hukum Allah secara total. Hukum tidak lagi menjadi privilese elit atau hasil kesepakatan manusia yang bias, tetapi bersumber dari wahyu yang tidak dapat diubah atau dimanipulasi. Keadilan menjadi fondasi pemerintahan, dimana raja sekalipun tunduk pada hukum yang sama. Inilah hakimiyyah dalam praktiknya, kedaulatan Allah yang diimplementasikan dalam kehidupan bernegara.

Aspek yang tidak kalah penting adalah dualitas kepemimpinan yang dijalankan Rasulullah ﷺ. Beliau bukan hanya nabi yang menyampaikan wahyu dan membimbing spiritualitas umat, tetapi juga kepala negara yang memimpin urusan politik, administratif, diplomatik, dan militer. Sinergi kedua peran ini membuktikan bahwa Islam bukan agama yang terbatas pada ritual personal, melainkan din yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk bagaimana mereka mengorganisir diri dalam entitas politik.

Masyarakat yang terbangun di Madinah menunjukkan karakteristik peradaban Islami yang autentik. Kedaulatan hukum Allah menjadi prinsip fundamental, dimana tidak ada otoritas legislatif selain Allah. Keadilan sosial ditegakkan melalui sistem yang melindungi kaum lemah dan mencegah eksploitasi. Meskipun Rasul mendapat wahyu, dalam urusan duniawi beliau menerapkan syura, menciptakan partisipasi politik yang sehat. Bahkan dalam kerangka tauhid yang kokoh, Piagam Madinah mengakui hak-hak non-Muslim, menunjukkan bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam.

Namun ironisnya, empat belas abad kemudian, umat Islam justru kembali terperangkap dalam jahiliyah dalam bentuk yang lebih halus namun tidak kalah destruktif. Jahiliyah modern ini termanifestasi dalam berbagai bentuk yang mengakar dalam kehidupan umat. Sekularisasi telah memisahkan agama dari urusan negara, mereduksi Islam menjadi urusan personal yang tidak memiliki relevansi dalam kehidupan publik. Sistem hukum yang diterapkan adalah produk pemikiran manusia yang seringkali bertentangan dengan syariat, sementara hukum-hukum Allah dianggap tidak relevan dengan zaman modern.

Dominasi sistem kapitalis telah mengembalikan praktik-praktik eksploitatif yang dulu dihapus Islam. Riba telah melembaga dalam sistem perbankan yang menjadi tulang punggung ekonomi modern, menciptakan kesenjangan yang semakin lebar antara kaya dan miskin. Sumber daya umat dieksploitasi untuk kepentingan elit global, sementara mayoritas umat hidup dalam kemiskinan meski berada di tanah yang kaya sumber daya.

Krisis kepemimpinan menjadi masalah kronik umat Islam kontemporer. Pemimpin tidak lagi dipilih berdasarkan kriteria Islam seperti takwa, keadilan, dan kapasitas, melainkan berdasarkan popularitas, koneksi, atau bahkan manipulasi. Imitasi buta terhadap peradaban Barat telah mengikis identitas Islam, menciptakan generasi yang kehilangan visi peradaban alternatif. Umat yang dahulu menjadi pionir peradaban, kini menjadi pengikut yang kehilangan arah.

Fragmentasi umat menjadi tragedi yang paling menyakitkan. Nasionalisme sempit telah memecah persatuan ummah yang dulu menjadi kekuatan dahsyat. Konflik sektarian mengaburkan identifikasi terhadap musuh bersama, sementara solidaritas internasional Muslim semakin melemah. Umat yang dahulu bersatu dalam satu ikatan akidah, kini terpecah dalam sekat-sekat artifisial yang diciptakan oleh kekuatan eksternal.

Dalam kondisi inilah relevansi Hijrah menjadi sangat urgent. Hijrah mengajarkan bahwa transformasi masyarakat dimulai dari purifikasi akidah, kembali kepada tauhid murni dan pemahaman Islam yang kaffah. Tidak cukup hanya ritual yang benar, tetapi pemahaman tentang Islam sebagai sistem hidup yang komprehensif. Ini memerlukan pembentukan kader yang memahami Islam sebagai ideologi, bukan sekadar identitas kultural yang pasif.

Perjuangan politik menjadi keniscayaan dalam upaya transformasi ini. Bukan politik pragmatis yang mengabaikan prinsip, melainkan kifah siyasi yang bekerja sistematis untuk mengubah sistem pemerintahan menuju penerapan syariat secara gradual dan konstitusional. Ini bukan berarti revolusi kekerasan, tetapi transformasi melalui dakwah, pendidikan, dan partisipasi politik yang konstruktif.

Membangun institusi alternatif menjadi strategi jangka panjang yang tidak dapat diabaikan. Lembaga-lembaga ekonomi, pendidikan, dan sosial yang beroperasi berdasarkan prinsip Islam harus diciptakan sebagai embrio masyarakat madaniyah masa depan. Ini adalah jihad peradaban yang memerlukan kesabaran, ketekunan, dan visi jangka panjang.

Hijrah bukanlah pelarian dari realitas, melainkan strategi transformasi yang paling efektif. Rasulullah ﷺ tidak melarikan diri dari masalah di Mekah, tetapi mencari ruang yang memungkinkan implementasi solusi Islam secara komprehensif. Dari Madinah yang kecil, peradaban Islam menyebar ke seluruh dunia dan mengubah wajah sejarah manusia.

Umat Islam kontemporer ditantang untuk melakukan hijrah dari sistem jahiliyah modern menuju tatanan yang berlandaskan hukum Allah. Ini bukan berarti isolasi atau konfrontasi destruktif, tetapi transformasi melalui pembangunan alternatif yang lebih baik. Ketika umat mampu menunjukkan superioritas sistem Islam dalam praktik nyata, itulah dakwah yang paling efektif.

"Dan barang siapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak." (QS. An-Nisa: 100).

Wallahu a'lam bi ash-shawab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Food |