REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kita pasti tidak asing lagi dengan ungkapan "time is money" (waktu adalah uang). Ungkapan itu di satu sisi ada benarnya, yaitu bagi seorang pedagang, waktu yang digunakan adalah untuk menghasilkan keuntungan (uang). Waktu baginya sangat berharga, bahkan satu detik sekalipun.
Namun di sisi lain, jika ungkapan tersebut disalahpahami, maka seseorang mempersempit makna waktu dan rezeki. Ia akan mempergunakan waktunya seketat mungkin untuk menghasilkan uang sebanyak-banyaknya.
Jika ada uang, ia sangat bangga dan gembira karena menganggap itulah rezeki. Begitu juga sebaliknya, jika tidak ada uang, ia akan bersedih karena merasa tidak mendapatkan rezeki.
Padahal, di dalam Islam, rezeki itu lebih luas dari sekadar uang atau materi duniawi. Ilmu, hidayah, iman, dan Islam, semua itu adalah rezeki yang tak ternilai harganya.
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda, “Ya Allah, berikanlah rezeki padaku berupa kecintaan-Mu dan kecintaan orang yang memberiku manfaat kecintaannya di sisi-Mu” (HR Tirmidzi).
Dalam hadis yang lain, Rasulullah SAW berdoa, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu petunjuk, ketakwaan, keterjagaan, dan kekayaan” (HR Muslim).
Dari hadis tersebut, ada empat hal yang perlu dipahami.
Pertama, petunjuk. Rasulullah SAW memberikan tuntunan pada kita agar meminta rezeki pada Allah SWT berupa petunjuk.
Petunjuk inilah yang akan menyadarkan kita tentang apa yang terpenting dalam hidup ini sehingga kita mampu membedakan antara kebenaran dan kesesatan.
Kedua, ketakwaan. Di satu sisi, derajat takwa adalah sebuah pencapaian dari usaha kita beribadah pada Allah SWT sebagaimana firman-Nya, “Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS al-Baqarah [2]: 21).
Tetapi, di sisi lain, takwa adalah pemberian atau rezeki dari-Nya. Artinya, semua usaha dan ibadah yang kita lakukan sebenarnya adalah bagian dari hidayah yang Allah SWT berikan pada kita.
Tanpa hidayah-Nya, mustahil kita meraih derajat tinggi tersebut. Itulah mengapa Rasulullah SAW meminta derajat takwa dalam doa beliau itu.
Ketiga, keterjagaan. Maksudnya adalah keterjagaan dari perbuatan maksiat. Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam diri kita ada nafsu yang senantiasa memerintahkan pada keburukan, sementara setan pun tak henti-hentinya menggoda kita untuk berbuat maksiat.
Tanpa pertolongan dan hidayah dari Allah SWT, kita tidak akan mampu menghadapi tantangan dan cobaan tersebut.
Itulah mengapa Nabi Yusuf AS pun bersabda, sebagaimana firman Allah SWT, “Aku tidak (menyatakan) diriku bebas (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu mendorong kepada kejahatan, kecuali (nafsu) yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yusuf [12]: 53).

1 hour ago
1
































:strip_icc():format(jpeg)/kly-media-production/medias/5344879/original/037827700_1757495713-Kota_Semarang.jpg)








